(Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti Lomba Menyusui yang diselenggarakan oleh Kemenkes RI)
Seberapa Besar Perjuangan Itu Selayaknya?
Beruntungnya saya, tanpa perlu banyak riset sebelumnya, fasilitas kesehatan (faskes) & tenaga kesehatan (nakes) yang kami pilih sejak awal memeriksakan kandungan sangat pro ASI. Terlebih suami, sangat amat pro menyusui. Saya pun tentu saja bercita-cita tinggi memberikan ASI dan menyusui selama (setidaknya) 2 tahun jika nanti anak kami sudah lahir. Begitu kira-kira kondisi saat itu, ketika Isthofa, bayi 6 bulan kami saat ini, masih berwujud biji wijen di dalam rahim saya.
Fokus pada kehamilan, saya belum begitu banyak mencari informasi tentang menyusui meski cukup banyak terpapar tentang ASI. Ternyata ini dua hal yang berbeda. Saya baca tentang manfaat ASI, mengapa harus ASI, komposisi asi, jenis-jenis ASI, suhu ASI, bagaimana ASI dihasilkan, dan makanan-makanan yang meningkatkan produksinya. Tapi saya abai mencari lebih dalam mengenai proses menyusui. Setelah Isthofa lahir, di titik inilah kami diuji.
1 minggu setelah melahirkan, mengurus bayi dan rumah berdua suami ternyata sangat melelahkan. Dalam 5 hari, berat badan Isthofa sudah naik 154gram dan sedikit kuning. Dokter spesialis anak yang mengurusnya sejak dilahirkan berkata tidak masalah, sering dijemur saja. Kami pulang. Meski begitu, saya mengalami puting yang lecet dan sedikit berdarah sampai darahnya mengering. Juga badan yang panas dingin karena itu. Saya ingat di RS setelah melahirkan diedukasi kemungkinan puting lecet karena latch on yang kurang baik, toh baik bayi maupun ibunya baru sama-sama belajar dalam proses menyusui. Saya berusaha perbaiki latch on saya. Anehnya, Isthofa seringkali mudah lapar kurang dari 1 jam.
Minggu ke-2, suami terkena demam berdarah dan harus opname di RS. Terseok-seok saya mengurus bayi merah dan urusan rumah tangga sendirian. Lupa mengurus diri sendiri yang masih nifas. Di minggu ini Isthofa makin menunjukkan hal yang saya pertanyakan apakah normal. Dia menyusu lama sekali, bisa sampai 2 jam, lalu tidur lama sekali, bisa lebih dari 3 jam. Saya merasa pasti ada sesuatu yang tidak beres yang saya tidak tahu. Dengan kondisi ini, beberapa pihak tentu saja gencar menyarankan tambahan susu formula karena menilai ASI saya kurang. Setelah suami kembali sehat dan pulang dari RS, saya utarakan bahwa saya merasa ada yang aneh dari bayi kami dalam proses menyusui. Saya minta diantar untuk menemui konselor laktasi di RS tempat kami bersalin, sayangnya konselor laktasi tidak setiap hari membuka konsultasi. Kami putuskan ke dokter anak saja, sekaligus mengecek Isthofa yang sudah 3 hari badannya muncul ruam-ruam merah yang ternyata adalah reaksi alergi.
Berkat informasi dari sahabat dan adik, saya minta dokter memeriksakan tali lidah Isthofa. Benar, Isthofa tongue tie. Tali lidah di bawah lidahnya tidak normal seperti kebanyakan orang. Agak tinggi sedikit kata dokternya. Saat itu berat badan Isthofa mulai menunjukkan kenaikan yang hanya sedikit dari yang seharusnya. Kami direkomendasikan untuk menemui dokter anak yang juga ahli laktasi dan biasa menangani masalah ini. Setelah dokter tersebut mengobservasi kondisi ASI & payudara saya, bagaimana Isthofa menyusu, dan kondisi mulut Isthofa luar dalam, dokter ahli laktasi ini menjelaskan bahwa Isthofa memiliki tongue tie dan lip tie sekaligus. Ini sebabnya dia tidak bisa menyusu dengan normal, puting saya lecet, dan bisa menurunkan produksi ASI saya. Saat itu usia Isthofa 20 hari, berat badannya hanya naik 275gram dari berat badannya ketika pulang dari RS H+1 dilahirkan. Dokter mengatakan anak ini gagal tumbuh. Hati kami mencelos dibuatnya.
Apa yang dokter lakukan? Saat itu juga Isthofa di-insisi. Tidak sampai 10 detik, tali lidah dan tali bibirnya digunting dengan gunting steril. Hari itu saya dengar bayi saya berteriak kesakitan. Setelah darahnya dibersihkan, saya langsung diminta untuk menyusuinya. Tersedu-sedu Isthofa sambil menyusu di pangkuan saya. Mungkin dia sedang mengadu tentang rasa sakitnya. Kemampuan Isthofa untuk menyusu seketika berubah, meski belum baik 100%. Saya diajarkan untuk melakukan senam mulut dan senam lidah 5x sehari setidaknya selama 3 minggu untuk pemulihannya.
Tepat 3 minggu, kemampuan menyusunya membaik. Isthofa mampu menyedot seluruh ASI dengan menyusu. Saya tidak lagi perlu memerah sisa ASI setelah menyusuinya kemudian menyuapinya dengan sendok. Tidak jarang Isthofa menangis marah karena tidak mau disuapi. Seiring dengan membaiknya kemampuan menyusu, berat badan Isthofa berangsur mengalami kenaikan. Saya juga perlu rutin memberinya ASI perah. Meskipun, dalam perjalanan 6 bulan ini kondisi Isthofa yang alergi juga memengaruhi berat badannya.
Ketika mengalami hal-hal di atas, saya bertanya-tanya seberapa besar sebenarnya perjuangan menyusui perlu dilalui? Jawabannya tidak ada yang pasti. Setiap ibu punya ketangguhan, kemauan, dukungan dan kapasitas pengetahuan masing-masing. Hal-hal ini yang kemudian memengaruhi seberapa besar perjuangan atau seberapa jauh usaha yang dilakukan. Saya ingin sekali berhasil menyusui anak saya selama 2 tahun dan dia mendapatkan ASI yang cukup dari saya, maka saya masih ingin terus mengupayakannya.
Komentar
Posting Komentar