Selasa, 28 Maret 2017
00.16 WIB
Emotional Buying, Mengenang
sumber foto: google.com
Pernahkah teman-teman
membeli suatu barang bukan karena alasan kebutuhan atau karena ingin mencoba
manfaat dari barang tersebut tapi justru karena alasan emosional? Saya pernah
membeli sebuah produk perawatan kulit karena alasan emotional release; meluapkan emosi semata. Inti cerita tulisan saya
ini bermula jauh di belakang, ketika saya justru tidak atau belum menyadarinya.
Setelah menyelesaikan
semester 6 di masa studi S1, saya mengambil KKN antar waktu. Saat itu tahun
2012. KKN antar waktu, seperti namanya, diselenggarakan di jeda waktu antara
semester 6 dan semester 7. Di UII sudah menjadi tradisi pengelompokkan
mahasiswa KKN dilakukan secara acak oleh DPPM (Direktorat Pengembangan &
Pengabdian Masyarakat) (semoga kepanjangannya benar ya). Dalam satu kelompok
KKN biasanya terdiri dari 8-9 orang dan hanya akan ada satu orang dari satu
program studi. Artinya semua kenalan baru, kecuali bagi yang beruntung
menemukan kenalan dalam satu kelompok.
Saya termasuk yang tidak
beruntung. 7 orang lain dalam kelompok KKN saya adalah orang-orang yang baru
saya kenal. Kami ber-8, 3 orang perempuan termasuk saya dan 5 orang laki-laki. Dinamika
kelompok kami tergolong seru. Kenapa? Karena sejak awal tidak saling kenal sama
sekali sampai sebulan bersama dan sharing
banyak hal. Dari proses kebersamaan itu, saya secara pribadi bahkan masih
menyayangi mereka ber-7 sampai hari ini.
2 orang teman perempuan
saya berasal dari jurusan Kedokteran dan Manajemen. 5 orang laki-laki berasal
dari jurusan Teknik Sipil, Teknik Informatika, Hukum, Farmasi, dan Manajemen. Di
fase KKN ini kami membagi tugas baik dengan alasan administratif maupun alasan
fungsional. Teman yang berasal dari jurusan Kedokteran sebagai sekretaris, saya
sebagai bendahara, teman dari Farmasi kami kukuhkan sebagai Ketua. 5 teman lain
mengambil bagian masing-masing sesuai minat dan bakatnya. Dalam program-program
dengan masyarakat dan kehidupan sehari-hari di penempatan, kami juga melakukan
hal yang sama. Berbagi pekerjaan dan peran yang kami mampu dan kami minati. Dalam
sebulan masa KKN lebih banyak hal menyenangkan yang saya rasakan ketimbang
perasaan tidak menyenangkan. Di samping itu, toh kami ber-8 terasa saling menghormati dan menyayangi.
Setiap teman saya, yang
kemudian kami merasa sudah bukan lagi teman tapi saudara, memiliki ciri khas
masing-masing. Entah itu jam tidur, gaya tidur, kebiasaan pagi, sikap khas,
nama panggilan/julukan, warna favorit, keunggulan diri, sampai dengan kekhasan
barang-barang pribadi. Ada satu ciri khas yang paling saya ingat dari pak Ketua
kami yang selanjutnya lebih sering kami panggil “Pak Bos”. Mas Bos yang jurusan
Farmasi ini tergolong laki-laki yang merawat diri. Mas Bos setiap hari tidak
pernah absen memakai hand body lotion setelah
mandi. Beda sekali dengan saya yang saat itu masih kucel kumel dan tidak hobi merawat kulit. Sering sekali jika kami
akan program, saya berangkat bersama Mas Bos. Dan saya harus menunggu Mas Bos
selesai menggunakan hand body serta
parfumnya yang semriwing. Saya bahkan
sampai hafal baunya. Kebiasan teman-teman lain tidak kalah menarik sebenarnya. Ada
yang bikin geli sampai lama kelamaan saya terbiasa.
Setelah masa KKN selesai
dan kami menyerahkan laporan akhir unit ke DPPM, kami kembali ke kehidupan
masing-masing. Saya meneruskan agenda-agenda hidup dan perkuliahan. Di semester
7 saya hanya mengambil skripsi, sehingga saya lebih banyak mendekam di perpus
pusat atau mencari partisipan penelitian. Kami geng KKN sempat berkumpul untuk
buka puasa bersama seminggu setelah kembali dari penempatan. Setelahnya kami
hanya mengandalkan grup aplikasi chat untuk
menjaga komunikasi.
Waktu berlalu dan
sampailah saya ke hari dimana saya wisuda. Beberapa teman KKN saya hadir dan
membawa bunga. Setelah wisuda, saya pulang dan berkarya di kampung halaman. Sampai
suatu hari, di akhir tahun 2013, salah satu teman geng KKN saya menelpon
beberapa kali. Saya terlambat mengecek handphone
dan baru menerima panggilannya yang kelima kali. Saya mendapatkan kabar
yang sangat tidak terduga dan saya anggap lelucon saat itu. Teman KKN saya ini
berusaha meyakinkan bahwa ia tidak sedang bercanda. Kami kehilangan Pak Bos. Mas
Bos kemungkinan keracunan zat/obat, jatuh sakit, dan akhirnya meninggal dunia.
Berita ini menohok
sekali. Saya masih ingat Mas Bos datang ke wisuda saya dan membawa bunga. Sambil
memberikan bunga beliau berkata, “Atul selamat yaa”. Saya masih ingat sekali
momen-momen saya harus menunggunya selesai menggunakan hand body dan parfum. Saya masih ingat selalu dibonceng dan harus
bernyanyi jika beliau mulai mengantuk. Saya masih ingat beliau akan teriak, “Atul
cepetan” kalau saya masih menyiapkan sesuatu atau perlu mengambil sesuatu
setelah kami program sementara Mas Bos sudah ready di motor. Saat itu saya bingung harus melakukan apa karena
jauh dari rumah duka. Yang bisa saya lakukan mendoakan dan pergi ke supermarket
untuk membeli produk perawatan kulit favorit Mas Bos. Simply, saya membeli karena alasan emosional. Hanya untuk mengenang
Mas Bos lewat produk itu. Emotional
buying. Hal itu masih saya lakukan dalam dua bulan pasca dapat kabar
kehilangan.
Sampai hari ini, jika
sedang di supermarket dan lihat produk perawatan kulit itu, saya akan mampir
sebentar, tidak lagi membeli karena sebenarnya memang bukan produk yang biasa
saya pakai. Saya hanya mendekat untuk mampir dan melihat sebentar ke produk
itu. Satu hal yang saya pikirkan, “favoritnya Mas Bos”, lalu saya pergi. Beberapa
menit sudah cukup untuk mengenang.
Mengenang Mas Bos,
Rabi'atul Aprianti
Komentar
Posting Komentar