Sabtu, 22 Oktober 2016
21.20 WIB
21.20 WIB
Saya tahu bahwa setiap orang memiliki cara pandang dan pemaknaan tersendiri
tentang hidup. Yang saya tidak mampu adalah memahami cara pandang dan
pemaknaan-pemaknaan tersebut secara utuh karena saya tidak hidup di kaki-kaki
setiap manusia lain. Tentu saja tidak bisa. Saya hanya diberi kekuasaan
(sedikit) untuk mampu berdiri di kaki saya sendiri. Oleh karena itu, saya pun
(berusaha) memahami bahwa orang lain pun tidak mampu secara utuh memaknai cara
pandang dan pemaknaan saya terhadap suatu perjalanan yang diberi judul “hidup”.
Saya memang bukan manusia tertua di bumi yang bisa memberikan pandangan holistik
tentang kehidupan berdasarkan pengalaman. Saya juga bukan manusia tercerdas di
bumi yang memiliki kemampuan analisis tajam dan akurat untuk menentukan mana
jalan buntu mana jalan lurus. Pun bukan manusia bijak peka yang memaknai
sesuatu dari sudut pandang tepat atau mampu melihat hal paling esensial dari suatu
peristiwa. Saya berdiri di kaki saya sendiri sebagai seorang manusia tanpa
apa-apa, bukan pula siapa-siapa. Saya hidup sebagai manusia yang dengan
kebaikan Tuhan diberi akal sehat untuk berpikir sehat jika mau.
Saya tidak sedang ingin mengajak anda, yang membaca tulisan ini,
berfilsafat tentang hidup. Otak saya belum sampai kesana. Saya manusia dengan
ketertarikan lebih besar pada hal-hal praktis hidup dibandingkan filosofinya. Di
ulasan ini saya ingin membagi 5 refleksi saya mengenai kehidupan selama ini.
1. Kita
lebih banyak lupa bahwa hidup yang dihadiahkan Tuhan pada kita begitu baik,
hanya saja cara kita merespon yang seringkali kurang sesuai. Ada banyak “kebetulan”
yang mengarahkan kita pada jalan-jalan kebaikan yang mungkin kadang kita tidak
sukai tetapi baik bagi kita.
2. Pilihan
kita pada satu hal akan membawa kita pada konsekuensi atau pilihan-pilihan kehidupan
lain yang sebenarnya saling berpaut, hanya kita seringkali tidak sadar. Satu kejadian
dalam hidup manusia akan mempengaruhi kehidupan manusia-manusia lainnya dan
kehidupan manusia itu ke depannya. Misalnya, suatu hari sabtu, dulu ketika
masih studi S1 di Yogyakarta, saya merasa bosan dan memutuskan untuk main ke
malioboro. Di malioboro saya menemui seorang penjual cilok. Saya hanya tergiur
membeli. Itu saja. Lalu saya membeli. Saya tidak tahu bahwa bapak penjual cilok
hari itu belum mendapatkan pembeli sama sekali sebelum saya. Saat saya membeli,
beliau senang sekali. Melihat saya membeli, orang lain yang lewat “menyangka”
mungkin cilok itu enak dan ikut membeli. Bapak penjual cilok merasa lebih senang
lagi lalu beliau dalam hati mendoakan pelanggan-pelanggannya di hari itu
mendapatkan rezeki yang lancar. Rezeki yang lancar. Saya tidak pernah tahu
tentang itu. Saya menjalani kehidupan saya sebagaimana biasanya. Kemudian berhari-hari
kemudian, tidak sampai genap 8 semester saya wisuda. Semua berjalan. Tanpa pernah
saya ketahui sedikitpun bahwa ada doa penjual cilok yang saya bahkan tidak
pernah lagi ingat rupanya dalam setiap usaha kehidupan saya.
3. Kita menghargai,
respek pada orang lain cenderung lebih karena kita merasa tahu tentang orang
tersebut, paham sedikit bagaimana atau apa yang diinginkannya sehingga kita
memberikan toleransi. Padahal tidak pernah. Kita menghargai orang lain justru
seharusnya karena kita tidak pernah tahu banyak tentang orang lain. Kita tidak
pernah tahu apa yang orang lain pikirkan, pernah rasakan, sedang rasakan
sekarang, apa yang dihadapi, informasi apa yang diketahui, dll. Kita lebih
sering congkak dengan MERASA TAHU bahwa orang lain salah, orang lain tidak
mampu, orang lain tidak setahu kita.
4. Life is like a circle. Indeed. Kadang kehidupan manusia ada di area
atas kadang di area bawah, kadang sedih kadang senang, ada masa berjaya (dalam
aspek manapun)ada masanya menurun. Tetapi kita tidak akan pernah mampu membuat loop circle itu tanpa usaha, tanpa daya juang. Hanya dengan berusaha kita
yang tadinya di atas kemudian turun ke bawah, bisa naik ke atas lagi kan? Daya juang,
menurut hemat saya (maaf jika ada yang tidak sependapat), lebih mahal harganya
dari ke-pintar-an.
5. Here and Now. That’s all we need. Berada disini dan saat ini. Hadir disini,
di dalam diri anda, saat ini, tanpa grasak grusuk memikirkan hal lain,
merasakan hal lain, membayangkan hal lain. Anda boleh tidak here and now tapi bisakah kita hitung
bersama berapa banyak kecerobohan? Lupa? Kecemasan tentang masa depan? Penyesalan
tentang perilaku kemarin? Jangan salah paham, saya tidak sedang meminta anda,
yang membaca tulisan ini, tidak memikirkan hari esok atau belajar dari hari
kemarin, saya sedang bercerita bahwa dengan fokus pada apa yang saya lakukan
saat ini di tempat saya duduk, pekerjaan saya menjadi terasa baik, hati saya
lapang, pikiran saya tidak digantungi jemuran-jemuran distraksi. Tentu saja
kita bisa duduk merefleksikan apa yang bisa kita pelajari dari hari-hari
kemarin dan bisa membuat rencana yang matang tentang hari esok, tapi kemudian
keberhasilan kedua upaya itu tentu dipengaruhi oleh kemampuan kita untuk “ada”
di saat ini.
Coretan di masa menunggu,
Semoga bermanfaat,
Rabi’atul Aprianti
Komentar
Posting Komentar