02 Juni 2016
17.30 WIB
2. Memiliki komitmen dengan pasangan yang ajeg (untuk orang Indonesia dibaca: MENIKAH)
3. Membangun kehidupan berkeluarga baru (baca: tempat tinggal terpisah dengan orangtua, punya anak, dsb)
4. Memiliki kejelasan karir (profesi, studi lanjut, dll)
5. Membina hubungan sosial yang baik dan bermasyarakat (berkontribusi di masyarakat)
Warm Regards,
Rabi'atul Aprianti
17.30 WIB
Early Adulthood Crisis
Siang tadi, saya dan 3 orang kawan duduk bersama di Kancil = Kantin Cikologi, untuk beli makan siang. Kami menunggu makan siang pesanan yang kami bilang "bungkus" ke abang penjualnya. Lalu kami diskusi ngalor ngidul sesuka hati mumpung istirahat.
Sampailah pembicaraan itu ke early adulthood crisis. Krisis di masa dewasa awal. Oh ya! Saya ingat mengapa kami bisa membicarakan ini. Awalnya adalah karena kami membicarakan "adakah libur long weekend lagi di tahun ini?". FYI jawabannya tidak ada, teman.
Oke, kita kembali ke early adulthood crisis. Well, untuk teman-teman yang juga belajar psikologi tentu sudah kenal dengan psikologi perkembangan. Seorang tokoh bernama eyang Havighurst menyebutkan bahwa di setiap tahap perkembangan (yang identik dengan pertambahan usia) akan ada tugas-tugas perkembangan tertentu. Apa saja tugas perkembangan masa dewasa awal (kisaran usia 18-29 tahun)?
1. Hidup mandiri, lepas dari keluarga inti. Di Indonesia mungkin lebih dicirikan dengan bekerja, punya penghasilan sendiri secara finansial2. Memiliki komitmen dengan pasangan yang ajeg (untuk orang Indonesia dibaca: MENIKAH)
3. Membangun kehidupan berkeluarga baru (baca: tempat tinggal terpisah dengan orangtua, punya anak, dsb)
4. Memiliki kejelasan karir (profesi, studi lanjut, dll)
5. Membina hubungan sosial yang baik dan bermasyarakat (berkontribusi di masyarakat)
Oke, dari diskusi abal-abal kami berempat tadi siang, seorang dari kami mengeluarkan statement bahwa usia dewasa awal itu rentan krisis. Mengapa? Karena secara teoritis dan praktis memang usia di usia dewasa awal banyak keputusan yang perlu diambil yang dapat menentukan kehidupan panjang setelahnya. Menikah, karir, mandiri, hubungan sosial dan meneguhkan posisi di masyarakat memang bukan hal yang mudah. Di usia dewasa awal manusia dituntut untuk membuat kejelasan alur hidupnya.
Secara praktis, krisis yang muncul bisa bertransformasi menjadi bermacam-macam pertanyaan pada diri. "Hidup gue sebenarnya buat apa?" "Ngapain sih gue sampe segininya kerja di tempat yang gue ga ngerasa berkembang?" "Sebenernya gue pengen jadi apa?" "Gila ya gue udah hidup selama ini tapi kayanya belum ngapa-ngapain". Dan banyak lagi bentuk pertanyaan yang bisa jadi adalah indikator diri anda sedang mengalami krisis.
Hmm, lalu bagaimana? Yang saya bisa sarankan saat ini simply, evaluasi diri sesering mungkin. Kalau perlu setiap hari. Coba peka terhadap diri sendiri sebelum peka ke orang lain juga tentunya. Apakah yang saya jalani hari ini membuat saya bahagia? Bermanfaat? Seberapa sering saya berdoa? Apa berdoa penting bagi saya? Mau saya bawa kemana kehidupan saya?
Warm Regards,
Rabi'atul Aprianti
Komentar
Posting Komentar