27 Mei 2016
12.10 WIB
Kisah Klasik Bullying
Mari kita awali tulisan ini dengan throwback agenda saya di minggu ini. Selasa
lalu, secara berkelompok saya mempresentasikan sebuah paper dengan tema agresi. Dan saya sendiri dapat jatah menulis dan
presentasi tentang bullying. Tidak keberatan
kan kalau saya tuliskan definisi teoritisnya?
Bullying atau kekerasan secara umum ialah suatu kondisi dimana siswa yang
menjadi korban bully terpapar perilaku negatif oleh seorang atau sejumlah siswa
lainnya secara berulang dan beberapa kali (Olweus, 1993).“Perilaku negatif”
dapat diartikan seseorang secara sadar atau dengan niat tertentu membuat orang
lain merasa tidak nyaman dengan perilaku yang agresif (Olweus, 1993). Perilaku
negatif ini dapat terjadi secara verbal, seperti mengolok atau memberi julukan
dan dapat pula terjadi secara fisik seperti dengan memukul, mendorong, menendang,
atau hal lainnya yang bersifat kontak fisik. Bullying kemudian menekankan pada
perilaku negatif yang sifatnya berulang.
Ada banyak faktor yang bisa
menyebabkan anak melakukan bullying. Tapi
ada satu informasi yang saya highlight
dan sampaikan di kelas, bahwa ternyata anak-anak yang melakukan bullying itu bisa jadi karena MENIRU
entah orangtua atau orang-orang di sekitarnya yang berlaku negatif (baik verbal
maupun fisik atau bahkan gesture) dan
INDIKASI GENETIK. Kok indikasi genetik? Ya, ternyata laki-laki dewasa yang
ketika kecil pernah atau sering melakukan bully
pada temannya cenderung memiliki anak-anak yang juga mem-bully teman-temannya di sekolah. Data pasti statistiknya tidak saya
temukan tapi begitulah kabarnya menurut penelitian. Di samping itu, info
menarik lainnya adalah bahwa ternyata anak pertama cenderung menjadi korban bully yang kemungkinan karena faktor
pola asuh protektif dari orangtua.
Data acara mem-bully dan di-bully
sendiri di Indonesia sebenarnya belum ada yang pasti. Yang ingin saya tekankan
adalah bully ini menjadi never ending case di sekolah-sekolah
atau di luar sekolah. Sejujurnya bully
ini juga menjadi hal yang dekat di kehidupan saya karena di masa kecil saya
adalah korban bully (hiks). Kejadiannya
sudah lama sekali tapi membekas sekali bagi saya dan membawa dampak-dampak
hingga saat ini.
Pengalaman di-bully pertama kali
saya alami ketika usia 4 tahun. Saat itu saya baru pertama kali masuk TK. Sebenarnya
orangtua sayapun iseng menyekolahkan saya karena (katanya) badan saya sudah
besar dan saya gabut di rumah. Akhirnya saya masuk ke sebuah TK Islam yang
tidak begitu jauh dari rumah di Martapura. 2 minggu sekolah saya minta berhenti
ke ayah saya, “Pah yanti ga mau sekolah lagi.”. Ayah saya bertanya apakah
sekolah membosankan atau ga seru. Saya jawab, “sekolah seru tapi ada anak nakal
tiap hari nyubit-nyubit, injek-injek kaki, ga mau sekolah lagi.” Dan sejak saat
itu saya tidak sekolah lagi.
Entah berapa bulan kemudian, saya
bersama ayah dan adik Mumun jalan-jalan ke pameran. Tanpa diduga disana kami
bertemu dengan seorang guru TK saya. Surprise!
Ibu guru itu bertanya kenapa saya tidak sekolah lagi. Ayah saya
menceritakan alasan saya. Sebelum pulang, ibu guru itu bilang, “besok yanti
sekolah lagi yuk, langsung masuk ke kelas ibu aja, di kelas ibu ga ada anak
yang jahat.” Saya diam saja. Di jalan pulang saya tanya, “Pah, memang di TK B
bener ga ada yang jahat?”. Ayah saya bilang, “coba diliat aja besok”. Oke, lalu
esoknya secara sah saya kembali sekolah dengan sebuah syarat. “Papah harus
temenin”. Seminggu ayah saya menemami saya sekolah. Saat saya merasa insecure
di kelas, tengok ke jendela, disitu ada ayah saya yang mengawasi. Oke, saya
jadi tenang lalu belajar lagi. Setelah seminggu acara sekolah ditemenin
disudahi, toh ternyata di TK-B ga ada yang nakal-nakal banget (maksudnya ga ada
yang nyubit atau injek-injek seenak jidat). Tidak lama setelah itu saya lulus TK.
Acara di-bully kedua kali
berlangsung di SD. Saya masuk sekolah SD karena, sebutlah, kecelakaan. Lulus TK
di usia 5 tahun membuat orangtua saya bilang, “ga usah SD dulu ya, kan belum 6
tahun”. Oke, sepakat. Saat itu nenek saya masih menjabat kepala sekolah di
sebuah SD di Samboja. Kami sekeluarga kebetulan pindah dari Martapura ke
Samboja. Karena ayah ibu saya kerja, sehari-hari saya ngintil nenek ke sekolah.
Main, guling-guling di sofa kantor, ngobrol sama ibu-ibu guru, bahkan ikut
penjaga sekolah motong rumput. Sesekali kakek saya akan jemput untuk bawa saya
ke puskesmas. Maklum, agenda cabut gigi yang sudah goyang.
Jadi kenapa saya bisa masuk SD
kemudian? Seorang guru kelas 1 yang baik suka mengajak saya ikut main di kelas
1 ketika beliau mengajar. Saya duduk di belakang dengan dress bunga-bunga,
sepatu hitam dan kaus kaki putih berenda, tanpa bawa apa-apa. Ibu guru kelas 1
memberi saya sebuah kertas kosong dan
meminjami pensil. Ketika beliau memberi soal matematika ke siswa-siswa saya
diajak untuk ikut mengerjakan. “Yanti sudah selesai?” tanya ibu guru ketika
saya sudah bengong lagi. “Coba sini bawa ke depan”. Saya bawa pekerjaan saya ke
meja ibu guru lalu saya dikasih nilai 10. Ketika ada siswa yang liat dan dapat
nilai sama, mereka mengajak saya “toss dulu”. Padahal saya ga kenal juga mereka
siapa. Tapi main di kelas 1 seru juga ya, bisa “toss dulu” sama anak-anak yang
(saya anggap) seusia (padahal lebih tua setahun dari saya). Ibu guru kelas 1
ternyata mengobrol dengan nenek dan menyarankan saya untuk masuk sekolah saja. Nenek
saya (yang taat peraturan) bilang bahwa belum bisa sekolah karena usia saya
belum cukup lagipula ini sudah masuk cawu II. Tanggung.
Tapi ternyata jalan hidup berbeda. Suatu
hari ketika kepala dinas daerah datang ke sekolah. Ibu guru kelas 1 bertanya
apakah boleh anak usia 5 tahun masuk SD dan mengikuti di hampir pertengahan
tahun. Kepala Dinas saat itu bilang bahwa jika anak mampu mengikuti dan
mengejar pembelajaran tidak masalah. Lalu masuklah saya sebagai siswa SD. Di
kenaikan kelas tidak disangka saya rangking 1, menggeser anak laki-laki yang
sebelumnya juara. Dan anak laki-laki itu tidak terima. Dia bilang ke
teman-teman lain bahwa “yanti rangking 1 karena cucu kepala sekolah”. Fine. Belajar dari peristiwa bully pertama. Kali ini saya merasa
perlu menjaga harkat martabat diri saya sendiri. lalu apa yang terjadi? Mereka yang
mem-bully saya secara verbal dan gesture saya ajak berantem di dalam
kelas. Sayangnya saat itu saya belum kenal karate. Tapi saya merasa menang
karena sudah melawan. Jangan dikira seorang yanti ga bisa melawan ya. Setelah acara
pukul-pukulan di kelas itu kami dipanggil ibu guru kelas 1. Saya dengan enaknya
bilang bahwa mereka menuduh saya rangking 1 karena saya cucu kepala sekolah. Ibu
guru kelas 1 meminta saya keluar lalu menasihati para anak lelaki itu. Setelah
kejadian itu, beberapa dari mereka masih menuduh saya seperti itu, tapi well saya merasa sudah membalas -.-.
Tapi sesungguhnya dua acara di-bully zaman kecil ini membawa saya ke
saya yang sekarang. Bully 1 menarik
saya yang anak 92 ini naik level ke kelas pendidikan anak-anak 90 dan 91. Akselerasi,
hehe. Akselerasi hidup karena di-bully.
Bully 2 menantang saya untuk jadi
anak pemberani. Bukan pemberani ngajak berantem sih seharusnya, tapi berani
menunjukkan bahwa saya benar dan tidak curang. Well, sekian kisah klasik bullying saya yang kalau saya pikir
sekarang, seru. Seru karena membawa saya ke diri saya yang sekarang.
Komentar
Posting Komentar