Keunikan Kultural & Efek Sampingnya

31 Mei 2016
18.59 WIB


Keunikan Kultural & Efek Sampingnya


Tadi pagi, sebelum pukul 9 WIB, saya dapat pesan singkat dari ibu saya yang isinya kurang lebih begini “Mama sama bapak pagi ini ikut melamar …….. untuk ……… Jujurannya minta ………”. Ya, inilah ibu saya. Seorang wanita sunda tulen yang menikah dengan seorang pria banjar tulen dengan perbedaan usia 6 tahun. Singkat cerita, ibu saya sharing tentang kegiatan “tawar menawar” yang beliau saksikan sendiri tadi pagi.

Tawar menawar apakah itu? Bukan, bukan tawar menawar sayuran atau bahan pokok ala ibu-ibu di pasar. Bagi suku banjar di tanah Kalimantan, ada yang disebut dengan “JUJURAN”. Jadi begini, saya seorang perempuan yang sudah memasuki usia layak menikah. Kemudian jika ada laki-laki datang dengan maksud melamar saya ke orangtua saya, maka di masyarakat banjar, pihak wanita akan menawarkan sejumlah uang yang disebut JUJURAN sebagai harga yang harus pihak laki-laki keluarkan jika ingin menikahi si wanita.  Biaya ini biasanya di luar mas kawin ya. Harga yang ditawarkan bebas, suka-suka pihak wanita. Bisa Rp 10.000.000, Rp 20.000.000, Rp 30.000.000, bahkan rata-rata keluarga dengan status sosial ekonomi menengah ke atas biasanya menetapkan Rp 50.000.000 untuk masing-masing anak perempuan mereka. Harga tentu saja bisa bertambah tinggi jika si anak wanita berpendidikan tinggi, punya jabatan tinggi, atau berasal dari keluarga berdarah selain merah (biru, hijau, nila, ungu dan sebagainya).

Nah, harga JUJURAN ini bisa ditawar jika pihak laki-laki merasa tidak mampu. Kemudian akan terjadilah proses tawar menawar. Berapa yang pihak laki-laki sanggup tapi juga diridhoi oleh pihak perempuan. Bisa turun 10%, 15%, 20%, 25%, atau bahkan diskon 50%. Bisa juga dengan tawaran barang. Misalnya, uang cash Rp 30.000.000 ditambah tempat tidur, lemari, meja rias, meja belajar aseli dari kayu jati. Atau Rp 25.000.000 ditambah dengan satu mobil dan rumah siap huni. Bisa bermacam-macam. Sekali lagi, tergantung kesepakatan tawar menawar kedua belah pihak.

Biasanya, harga JUJURAN akan jadi bahan pembicaraan karena diusung sebagai “harga si anak perempuan”. Harga JUJURAN akan memperlihatkan seberapa berharga anak perempuan itu, seberapa tinggi status sosial ekonomi keluarga wanita dan juga keluarga laki-laki, dan tentunya seberapa ingin si laki-laki menikahi si wanita. Proses tawar menawar lazimnya dipandang sebagai simbol “kerendahan” pihak laki-laki dari pihak perempuan. Mengapa? Karena jika pihak laki-laki “setara” dengan pihak wanita tentu pihak laki-laki akan langsung “bungkus” permintaan harga JUJURAN yang diminta pihak wanita.

Sebagai putri sunda tulen, ibu saya sudah sering sekali berkomentar tentang JUJURAN khas masyarakat banjar ini. Ibu saya merasa bahwa tidak etis anak gadis “ditawar menawar harga”. Terlepas dari ibu saya yang sunda tulen ini, saya yang berstatus half-blood (sunda-banjarmasin) ini juga menolak acara harga JUJURAN. Menurut saya anak perempuan terlalu murah kalau harus dibayar dengan uang cash seharga Rp 10.000.000, Rp 30.000.000, Rp 50.000.000 atau bahkan Rp 100.000.000. Hey! Anak perempuan tidak dibeli dengan uang. Well, saya sedang tidak bicara tentang mas kawin dengan uang ya, itu pembahasan lain. Kembali ke harga JUJURAN, baik ini memang sebuah keunikan kultural suku banjar yang mungkin mirip dengan Palembang. Kekhasan yang menjadi salah satu harta karun bangsa ini. Tapi harga JUJURAN ini menurut saya membawa beberapa efek samping:

   1. Anak perempuan/si gadis seolah dipandang dari harga JUJURAN-nya, jika harganya tinggi maka bisa kita tebak status dirinya tinggi, mungkin berpendidikan, status sosial ekonomi keluarganya menengah ke atas
   2. Menegaskan gap status sosial ekonomi yang ada di masyarakat, kalau hal ini terjadi bisa lebih banyak iri dengki yang tersembunyi
  3. Seolah membatasi jodoh anak gadis dari kalangan status sosial ekonomi tertentu
  4. Bisa menimbulkan hutang piutang dengan jumlah besar
 5. Bisa menunda rezeki menikah bagi si gadis dan bagi calon pasangannya
 6. Anak perempuan dibesarkan oleh kedua orangtua seolah untuk kemudian dijual dengan harga tertentu
  7. Label harga untuk anak perempuan
  8. Melanggengkan budaya
 9. Mungkin bisa jadi tabungan untuk orangtua

Dari beberapa efek samping yang saya tuliskan di atas (mungkin belum semua terpikir oleh saya), saya merasa harga JUJURAN sedikit membawa manfaat. Bukannya saya tidak berniat melestarikan budaya nenek moyang, tetapi setiap ritual budaya yang ada perlu disaring terlebih dulu apakah lebih banyak membawa manfaat atau justru mudharat. Then, we can choose we will do it or not.





Warm Regards,




Rabi’atul Aprianti

Komentar