Bahagia: Pemberian atau Diusahakan?

Sabtu, 12 Maret 2016
9.48 WIB


Bahagia: Pemberian atau Diusahakan?

Suatu waktu di suatu tempat, seorang wanita (mungkin usianya 30-an) duduk sendiri di sebuah kafe yang hits di sebuah kota yang juga hits. Wanita itu sibuk mengaduk kopinya dengan sendok stainless kecil. Sibuk? Secara kasat mata katakanlah seperti itu. Yang kita tidak tahu adalah bahwa wanita itu telah menikah, menjadi istri kedua seorang pria (yang lebih tua; dan pria itu tinggal di kota hits tersebut), belum memiliki keturunan, dan sedang menunggu suaminya datang ke kafe itu. Yang kita tidak tahu selanjutnya adalah bahwa istri pertama dari pria (yang menikah dengan wanita ini) tidak pernah rela suaminya menikah lagi, pria ini tidak pernah tinggal dengan wanita itu meski dicukupi sandang pangan papannya, & wanita-pria ini sering berselisih paham. Istri pertama dari pria tersebut pernah melabrak wanita ini dan memintanya bercerai dengan suaminya. Surat pernyataan cerai dikirimkan pada istri pertama pria tersebut. Tapi, itu palsu. Wanita-pria masih bersama dengan motif cinta walaupun banyak piring pecah belah. Berharap hidup bisa terus dijalani bersama, nanti Tuhan akan berikan masa bahagia.

Di suatu waktu dan di suatu masa yang lain, seorang wanita bersama suaminya sedang dalam perjalanan. Mereka saling tersenyum. Kemana mereka? Ke sebuah panti asuhan. Yang kita tidak tahu adalah bahwa pasangan ini sudah menikah 15 tahun dan belum juga dikaruniai keturunan. Suntik hormon, cek kesuburan, program kehamilan, semua mereka coba. Perkara-perkara kecil semakin lama menjadi pertengkaran. Sampai pada akhirnya mereka memutuskan pergi ke psikolog untuk konsultasi pernikahan mereka. Yang kita tidak tahu selanjutnya adalah bahwa mereka berdua pergi ke panti asuhan dengan rencana mengadopsi anak. Mereka mencari bayi yatim piatu yang bisa mereka adopsi dan urus bersama.


Apa yang teman-teman pikirkan setelah membaca dua cerita singkat di atas?

Saya pikir saya adalah seorang anak perempuan yang mementingkan kebahagiaan selain hal lain dalam kehidupan. Bagi saya cerita wanita kedua lebih saya sukai. Kenapa? Karena kita perlu memilih untuk bahagia, untuk kehidupan yang lebih baik kemudian mengusahakannya. Wanita pertama menurut saya justru membiarkan diri terjebak dalam kerusuhan hidup (yang bisa saya anggap sebagai ketidakbahagiaan) tanpa berpikir lebih jernih tentang kehidupannya. Well, motif cinta. Apakah tetap cinta jika membuat hidup kita justru tidak bahagia? 

Bahagia. Pemberian atau diusahakan?
Mungkin ada banyak pendapat yang sayapun belum ketahui atau belum pernah baca. Menurut saya, bahagia itu adalah pemberian Tuhan yang perlu diusahakan. Diusahakan dengan banyak hal bahkan dengan hal yang sederhana, bersyukur misalnya. Atau hal-hal lain, memilih teman-teman yang baik, lingkungan kerja yang baik, makanan dan minuman yang sehat, mengurus diri dengan baik, liburan dengan sahabat, memperbaiki kesalahan-kesalahan, mengambil hikmah dari kejadian tidak menyenangkan, banyak hal yang bisa diusahakan. Bahagia pun perlu diusahakan, tidak dengan duduk diam menunggu bahagia itu datang.



Well, kira-kira seperti itu pendapat saya.
Semoga bermanfaat :)



Rabi'atul Aprianti

Komentar