Sekolah Kehidupan (44) Merantau

24 Agustus 2014


Seorang anak menangis di depan sebuah kamar asrama. Sebuah mobil melaju keluar gerbang lokasi itu. Ya, ia menangis karena ditinggalkan oleh keluarganya di lokasi itu, di sekolah itu. Seorang remaja berkerudung menghampirinya dan membawa anak itu masuk ke dalam salah satu kamar asrama. Sambil memasuki kamar ia mengusap air matanya.

Saya mengamati dari jendela rumah yang persis berhadapan dengan gedung asrama itu.

Kejadian itu menghempaskan saya pada masa 11 tahun yang lalu. Masa pertama kalinya saya merantau, keluar dari zona nyaman saya, keluar dari sebuah tempat yang saat itu saya kira sebuah istana meski kecil. Saya merasa khatam menjalani masa-masa sulit perpisahan dengan orangtua untuk melanjutkan pendidikan, tapi melihat kejadian anak itu langsung membuat hati saya tetap berdesir tidak stabil.

Berapa banyak dari teman-teman pembaca yang juga adalah perantau? Merantau sebagai sebuah usaha untuk memperbaiki kehidupan lewat pendidikan yang lebih baik, atau pekerjaan yang membuat diri dan keluarga juga lebih baik. Merantau sebagai sebuah sekolah kehidupan yang membuat diri kita tidak lagi akan sama. Menjadi lebih baik semoga saja :)

Seperti pesan seorang imam, Imam Syafi'i, yang saya sarikan seperti ini "merantaulah, maka kau akan dapatkan pengganti sanak saudara dan teman. Merantaulah maka kau akan dapatkan ilmu lebih dan cakrawala yang lebih luas dari orang lain..."

Melihat anak yang menangis itu saya menjadi ingat diri saya dulu. Tapi hari ini saya bangga menjadi perantau, bahkan bahagia ketika Tuhan memberi saya kesempatan-kesempatan berikutnya untuk meneruskan takdir ini. Saya memang dapatkan banyak hal, menginjak banyak tanah, mendapatkan saudara dan sahabat-sahabat yang tulus menerima saya tanpa peduli dari keluarga mana saya berasal atau sebanyak apa materi yang saya punya.

Mari merantau :)


Rabi'atul Aprianti
Bachelor of Psychology
Founder Seasons! Crochet shop
Apriantirabiatul@gmail.com
081310065167

Komentar