04 Juli 2014
21.45 WIB
Bulan lalu saya mendapatkan kesempatan untuk sekali lagi pulang ke salah satu "rumah" saya, Kota Jogja. Disana beberapa teman sempat mengajak mengunjungi Taman Budaya Yogyakarta (TBY) karena ada sebuah pameran seni yang diberi nama ArtJog(ja). Seni adalah salah satu hal yang sangat saya suka, selain itu seni memuat banyak hal untuk diresapi, dihargai & dipelajari.
Ada sebuah karya seni berupa patung tidak jauh dari pintu masuk. Patung tersebut full warna. Bentuknya adalah seorang koki (pria dengan topi koki dan baju khasnya) memegang seekor ikan (secara fisik ikan mas) dengan kedua tangannya. Koki itu tersenyum. Di dinding samping patung ada sebuah catatan kecil dengan dua bahasa (inggris & indonesia). Dari catatan itu saya ketahui bahwa judul karya seni itu adalah "memasak".
Pikir saya "ya baiklah..lumayan dekat judul dengan penampakan karyanya". Walaupun saya sejujirnya berpikir kenapa tidak wujud orang masak ya yang dibuat?. Penjelasan di catatan itu yang kemudian membuat saya dan tiga orang teman saling tatap & tersenyum.
"Memasak. Seorang koki sedang memegang seekor ikan untuk dimasak dan kemudian disajikan...... Memasak sejatinya bukan tentang masakan apa yang disukai sang koki atau masakan apa saja yang bisa dibuat olehnya, tapi memasak sebenarnya adalah tentang membuat makanan yang orang lain suka..."
Kami berempat saling tatap & tersenyum :)
"Makanan yang orang lain suka..." . Bahkan menjadi seorang ahli masak sekalipun perlu orang yang TIDAK EGOIS. Apalagi untuk menjalankan peran-peran lain dalam kehidupan, sebagai kakak, adik, anak, orangtua, teman, pasangan.
Contoh lain yang saya rasa mirip dengan bapak koki adalah ketika menjadi imam sholat. Seorang Buya Hamka, selepas belajar di Mekkah beliau membaca qunut di sholat subuh, tapi ketika pulang ke kampung, menjadi imam di sebuah masjid yang jamaahnya tidak terbiasa dengan qunut maka beliau tidak membaca qunut saat sholat berjamaah. Atau contoh lain, seseorang yang biasa membaca surat-surat panjang ketika sholat sendiri ketika menjadi imam memilih untuk membaca surat yang lebih pendek mengingat jamaahnya tidak seluruhnya masih muda.
Kembali ke memasak. Dengan belajar memasak saya rasa kita bisa belajar lebih dari sekedar makanan yang kita hasilkan. Belajar untuk menyesuaikan diri dengan orang lain, belajar tidak semaunya sendiri, belajar peka, belajar tidak egosi tentu saja. Memasak ternyata lebih dari sekedar menghasilkan makanan :)
Ada ide lain?
Selamat malam di bulan berkah,
Rabi'atul Aprianti
Bachelor of Psychology
Founder Seasons! Crochet shop
Apriantirabiatul@gmail.com
21.45 WIB
Bulan lalu saya mendapatkan kesempatan untuk sekali lagi pulang ke salah satu "rumah" saya, Kota Jogja. Disana beberapa teman sempat mengajak mengunjungi Taman Budaya Yogyakarta (TBY) karena ada sebuah pameran seni yang diberi nama ArtJog(ja). Seni adalah salah satu hal yang sangat saya suka, selain itu seni memuat banyak hal untuk diresapi, dihargai & dipelajari.
Ada sebuah karya seni berupa patung tidak jauh dari pintu masuk. Patung tersebut full warna. Bentuknya adalah seorang koki (pria dengan topi koki dan baju khasnya) memegang seekor ikan (secara fisik ikan mas) dengan kedua tangannya. Koki itu tersenyum. Di dinding samping patung ada sebuah catatan kecil dengan dua bahasa (inggris & indonesia). Dari catatan itu saya ketahui bahwa judul karya seni itu adalah "memasak".
Pikir saya "ya baiklah..lumayan dekat judul dengan penampakan karyanya". Walaupun saya sejujirnya berpikir kenapa tidak wujud orang masak ya yang dibuat?. Penjelasan di catatan itu yang kemudian membuat saya dan tiga orang teman saling tatap & tersenyum.
"Memasak. Seorang koki sedang memegang seekor ikan untuk dimasak dan kemudian disajikan...... Memasak sejatinya bukan tentang masakan apa yang disukai sang koki atau masakan apa saja yang bisa dibuat olehnya, tapi memasak sebenarnya adalah tentang membuat makanan yang orang lain suka..."
Kami berempat saling tatap & tersenyum :)
"Makanan yang orang lain suka..." . Bahkan menjadi seorang ahli masak sekalipun perlu orang yang TIDAK EGOIS. Apalagi untuk menjalankan peran-peran lain dalam kehidupan, sebagai kakak, adik, anak, orangtua, teman, pasangan.
Contoh lain yang saya rasa mirip dengan bapak koki adalah ketika menjadi imam sholat. Seorang Buya Hamka, selepas belajar di Mekkah beliau membaca qunut di sholat subuh, tapi ketika pulang ke kampung, menjadi imam di sebuah masjid yang jamaahnya tidak terbiasa dengan qunut maka beliau tidak membaca qunut saat sholat berjamaah. Atau contoh lain, seseorang yang biasa membaca surat-surat panjang ketika sholat sendiri ketika menjadi imam memilih untuk membaca surat yang lebih pendek mengingat jamaahnya tidak seluruhnya masih muda.
Kembali ke memasak. Dengan belajar memasak saya rasa kita bisa belajar lebih dari sekedar makanan yang kita hasilkan. Belajar untuk menyesuaikan diri dengan orang lain, belajar tidak semaunya sendiri, belajar peka, belajar tidak egosi tentu saja. Memasak ternyata lebih dari sekedar menghasilkan makanan :)
Ada ide lain?
Selamat malam di bulan berkah,
Rabi'atul Aprianti
Bachelor of Psychology
Founder Seasons! Crochet shop
Apriantirabiatul@gmail.com
Komentar
Posting Komentar