04 Juni 2014
10.30 WIB
Adakah yang pernah dengar tentang manusia pegas? Pagi ini izinkan saya berkisah tentang seorang manusia pegas. Semoga bermanfaat bagi teman-teman pembaca.
Di suatu daerah, di suatu zaman, hidup seorang manusia biasa seperti saya, anda, kita dan kebanyakan manusia lain. Tidak terlihat ada perbedaan apapun. Wajah yang diisi oleh dua mata, satu hidung, satu mulut. Dua telinga, dua tangan, badan, dan dua kaki. Seperti manusia sempurna kebanyakan. Tapi ada hal yang istimewa darinya, dia manusia pegas.
Di usianya yang masih sangat muda, 8 tahun, ayahnya meninggal karena kecelakaan kerja. Ia dan ibunya kemudian harus menghidupi diri sendiri. Selepas sekolah ia bekerja serabutan. Sang ibu berjualan makanan dan sayuran di pasar. Tapi kondisi ini tidak berlangsung lama, 3 tahun kemudian sang ibu jatuh sakit dan meninggal. Ia hidup sebatang kara.
Saudara dari pihak ayah dan ibunya tinggal jauh di luar kota. Hanya sesekali ia dijenguk. Beberapa adik dan kakak dari ibunya memintanya untuk tinggal bersama mereka, tapi ia enggan. Rumah dan kotanya adalah kenangan bersama orangtua.
Kehidupan terus berlanjut. Ia masih terus bekerja serabutan untuk membiayai hidup dan sekolahnya. Beruntung ia adalah anak yang rajin dan pintar. Pihak sekolah memberi bantuan berupa keringanan biaya karena termasuk murid yang berprestasi.
Lepas SMA, ia diterima di salah satu universitas yang bagus di kotanya. Pantang menyerah, ia lakukan beberapa pekerjaan sekaligus untuk membiayai kuliahnya. Biaya kuliah tentu jauh lebih mahal dari sekolah-sekolah sebelumnya. Kehidupan dilanjutkan dengan belajar dan bekerja. Tak jarang ketika tidak ada lagi simpanan uang untuk membeli makanan, ia puasa sunnah Nabi Daud (sehari puasa sehari tidak begitu seterusnya).
Dalam seminggu minimal 3x ia bangun di sepertiga malam. Menghamparkan sajadah, meminta ketenangan hati dan kekuatan untuk terus berjalan. Di ujung-ujung sajadah ia titipkan semua rasa, semua keinginan, harapan dan keluh kesah pada Tuhan. Adakah tempat kembali yang lebih baik selain Tuhan?
Tiba masanya, beberapa lawan jenis datang dengan membawa perasaan. Tapi ia sulit ditaklukkan. Ia merasa masih harus membenahi diri dan kehidupannya. Lagipula ia bertekad hanya akan menerima orang yang sungguh-sungguh mengajaknya menuju pernikahan. Suatu hari datanglah seseorang yang mengajaknya bersahabat. Lama kelamaan terbukalah bahwa si sahabat ingin mengajaknya menuju hubungan yang serius. Tahun pertama, ia masih menolak. Tahun kedua, ia setuju berjalan bersama setelah yakin sahabatnya adalah orang yang baik. 4 tahun bersama, berbagi suka duka, saling dukung dan saling menghebatkan. 3 bulan sebelum menikah, hubungan kandas karena pasangannya tergelincir oleh cinta lain yang kelihatan lebih cocok dan segar. Apa daya?
Kehidupan terus berlanjut. Untuk mempersingkat kisah ini saya beritahukan bahwa di usia 26 tahun tokoh utama dalam kisah ini sudah hidup dengan cukup mapan, memiliki pekerjaan yang baik dan mensejahterakan. Lajang dan bahagia. Terus melakukan kegiatan-kegiatan sosial yang telah lama dijalaninya bersama teman-temannya yang setia di saat suka maupun duka. Menjalani kehidupannya dan dirinya yang mendewasa.
Dia manusia pegas.
Ketika ditekan oleh banyak ujian ia mampu bangkit naik lebih tinggi dari ujian yang datang. Semakin ditekan maksimal, semakin maksimal ia bangkit. Seperti pegas. Bounce it back.
Semua manusia seharusnya bisa menjadi manusia pegas. Hanya saja, hidup itu selalu pilihan kan? Kita mau bangkit melawan keterpurukan atau pasrah tanpa daya dalam keadaan. Its our choice.
:)
*dalam psikologi konsep ini disebut resiliensi.
Rabi'atul Aprianti
Bachelor of Psychology
Founder of Seasons! Crochet shop
Apriantirabiatul@gmail.com
10.30 WIB
Adakah yang pernah dengar tentang manusia pegas? Pagi ini izinkan saya berkisah tentang seorang manusia pegas. Semoga bermanfaat bagi teman-teman pembaca.
Di suatu daerah, di suatu zaman, hidup seorang manusia biasa seperti saya, anda, kita dan kebanyakan manusia lain. Tidak terlihat ada perbedaan apapun. Wajah yang diisi oleh dua mata, satu hidung, satu mulut. Dua telinga, dua tangan, badan, dan dua kaki. Seperti manusia sempurna kebanyakan. Tapi ada hal yang istimewa darinya, dia manusia pegas.
Di usianya yang masih sangat muda, 8 tahun, ayahnya meninggal karena kecelakaan kerja. Ia dan ibunya kemudian harus menghidupi diri sendiri. Selepas sekolah ia bekerja serabutan. Sang ibu berjualan makanan dan sayuran di pasar. Tapi kondisi ini tidak berlangsung lama, 3 tahun kemudian sang ibu jatuh sakit dan meninggal. Ia hidup sebatang kara.
Saudara dari pihak ayah dan ibunya tinggal jauh di luar kota. Hanya sesekali ia dijenguk. Beberapa adik dan kakak dari ibunya memintanya untuk tinggal bersama mereka, tapi ia enggan. Rumah dan kotanya adalah kenangan bersama orangtua.
Kehidupan terus berlanjut. Ia masih terus bekerja serabutan untuk membiayai hidup dan sekolahnya. Beruntung ia adalah anak yang rajin dan pintar. Pihak sekolah memberi bantuan berupa keringanan biaya karena termasuk murid yang berprestasi.
Lepas SMA, ia diterima di salah satu universitas yang bagus di kotanya. Pantang menyerah, ia lakukan beberapa pekerjaan sekaligus untuk membiayai kuliahnya. Biaya kuliah tentu jauh lebih mahal dari sekolah-sekolah sebelumnya. Kehidupan dilanjutkan dengan belajar dan bekerja. Tak jarang ketika tidak ada lagi simpanan uang untuk membeli makanan, ia puasa sunnah Nabi Daud (sehari puasa sehari tidak begitu seterusnya).
Dalam seminggu minimal 3x ia bangun di sepertiga malam. Menghamparkan sajadah, meminta ketenangan hati dan kekuatan untuk terus berjalan. Di ujung-ujung sajadah ia titipkan semua rasa, semua keinginan, harapan dan keluh kesah pada Tuhan. Adakah tempat kembali yang lebih baik selain Tuhan?
Tiba masanya, beberapa lawan jenis datang dengan membawa perasaan. Tapi ia sulit ditaklukkan. Ia merasa masih harus membenahi diri dan kehidupannya. Lagipula ia bertekad hanya akan menerima orang yang sungguh-sungguh mengajaknya menuju pernikahan. Suatu hari datanglah seseorang yang mengajaknya bersahabat. Lama kelamaan terbukalah bahwa si sahabat ingin mengajaknya menuju hubungan yang serius. Tahun pertama, ia masih menolak. Tahun kedua, ia setuju berjalan bersama setelah yakin sahabatnya adalah orang yang baik. 4 tahun bersama, berbagi suka duka, saling dukung dan saling menghebatkan. 3 bulan sebelum menikah, hubungan kandas karena pasangannya tergelincir oleh cinta lain yang kelihatan lebih cocok dan segar. Apa daya?
Kehidupan terus berlanjut. Untuk mempersingkat kisah ini saya beritahukan bahwa di usia 26 tahun tokoh utama dalam kisah ini sudah hidup dengan cukup mapan, memiliki pekerjaan yang baik dan mensejahterakan. Lajang dan bahagia. Terus melakukan kegiatan-kegiatan sosial yang telah lama dijalaninya bersama teman-temannya yang setia di saat suka maupun duka. Menjalani kehidupannya dan dirinya yang mendewasa.
Dia manusia pegas.
Ketika ditekan oleh banyak ujian ia mampu bangkit naik lebih tinggi dari ujian yang datang. Semakin ditekan maksimal, semakin maksimal ia bangkit. Seperti pegas. Bounce it back.
Semua manusia seharusnya bisa menjadi manusia pegas. Hanya saja, hidup itu selalu pilihan kan? Kita mau bangkit melawan keterpurukan atau pasrah tanpa daya dalam keadaan. Its our choice.
:)
*dalam psikologi konsep ini disebut resiliensi.
Rabi'atul Aprianti
Bachelor of Psychology
Founder of Seasons! Crochet shop
Apriantirabiatul@gmail.com
Komentar
Posting Komentar