Sekolah Kehidupan (9) Ciri khas mayoritas orang Indonesia

08 Mei 2014
17.00 WIB


Tulisan ini saya dedikasikan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Saya berharap semoga dapat menjadi renungan bersama.

Saya akan mulai dengan mengisahkan salah satu pengalaman saya di akhir april lalu. Sebuah panggilan seleksi tahap lanjut untuk S2 dari sebuah universitas membuat saya harus naik kereta pagi untuk sampai di kampus tersebut. Saya naik kereta pukul 06.36 WIB dan di jam itu kondisi kereta pasti peak season. Semua orang rasanya berangkat kerja pada jam itu. Saya berada di gerbong khusus wanita, berdiri di dekat kursi prioritas karena sudah tidak ada tempat duduk. Kereta pun melaju.

Setelah melewati dua stasiun, naiklah seorang wanita hamil. Dengan pasti wanita ini melangkah ke kursi prioritas, beberapa menit menunggu saya perhatikan tidak ada satupun yang berdiri untuk memberi tempat duduk. Suara petugas kemudian terdengar. Di kursi prioritas itu perlu saya sampaikan duduk 3 orang lansia dan seorang wanita pekerja usia kira-kira 35 tahun. Kita sebagai penonton tahu siapa yang harus berdiri. Dan ya, wanita pekerja itu berdiri setelah ditegur petugas. Yang membuat saya agak geram adalah wanita itu perlu waktu lama untuk berdiri seolah tidak mau (memang tidak mau). Geram di batin saya bertambah ketika setelah berdiri dan wanita hamil mengisi tempat duduknya, wanita pekerja itu berkata dengan suara nyaring "nah kalau yang ini kan keliatan hamilnya, biasanya cuma pura-pura hamil gitu"

Jika saja itu bukan angkutan umum dan jika tidak penuh manusia, mungkin saya tidak bisa menahan diri untuk membalas ucapan ibu tadi. Geram saya jadi berlipat ganda beranak pinak karena perilaku defensif wanita itu. Dengan sengaja membuat rasionalisasi terhadap sikapnya (yang harusnya dia pun sadar) yang tidak baik. Saya jadi membatin "inikah orang Indonesia di masa ini?"

Kebanyakan orang dewasa ini lebih dulu mementingkan haknya daripada menjalankan kewajibannya. Lebih ingin nyaman duduk daripada bersegera memberikan tempat bagi yang lebih membutuhkan. Cerita di atas hanya salah satu contoh. Masih banyak sekali contoh lainnya di sekitar kita. Banyak pengemudi kendaraan menggunakan jalan seenaknya tanpa berpikir mereka punya kewajiban tertib. Banyak orang di Imigrasi bandara menyerobot antrian. Banyak orang yang merasa berkepentingan dan memiliki hak menggunakan tempat-tempat umum tanpa menyadari mereka juga memiliki kewajiban menjaga dan merawatnya. (Bahkan mungkin kita seperti itu dalam hubungan-hubungan yang kita jalin?) Dan ya, memang tampaknya kondisi ini tumbuh lebih subur di perkotaan dimana individualisme jauh lebih dominan dari kolektivisme.

Saya hingga saat ini hanya ingin tetap berharapan baik, bahwa generasi sejenis ini akan digantikan perlahan oleh generasi yang lebih santun dan berakal. Generasi yang tidak hanya mementingkan haknya tapi juga mengedepankan kewajibannya. Semua dimulai dari diri sendiri dan orang-orang terdekat.

Maukah kalian setuju dengan saya? :)




Menulis di samping jendela,

Rabi'atul Aprianti
Bachelor of Psychology
Writer, Research fellow
Founder of Seasons! Crochet shop
Apriantirabiatul@gmail.com
@RabiatulApriant

Komentar