Bercermin: Pengalaman Merantau Selama Ini

Minggu, 02 April 2017
Ditulis: 11.30-12.33 WIB

Bercermin: Pengalaman Merantau Selama Ini

sumber: foto pribadi

Suatu pagi, saya yang sedang bersiap-siap untuk berangkat ke kampus dan bercermin, mendapatkan satu freeze moment. Saya yang biasanya grasah grusuh dengan ritual persiapan pagi, menemukan satu momen diam dan bercermin melihat diri saya sendiri. Mirip dengan cerita film korea yang pernah saya tonton dulu sekali (atau ya dimirip-miripin aja lah ya :D), yang terlintas di benak saya adalah “wow, what are you doing? What you did all this time?” . Semacam baru terbangun dari amnesia temporer.

Saya sedang bercermin saat itu. Selama ini saya menjadi pengembara. Dan sosok yang sedang saya lihat di cermin adalah wujud hasil pengembaraan selama ini secara fisik dan mental, lahir maupun batin. Pengalaman mengembara selama ini membentuk saya menjadi saya saat ini, seseorang yang saya lihat di cermin.

Apakah merantau menyenangkan? Tidak juga. Apakah merantau menyuguhkan banyak pengalaman dan pelajaran? Tentu.

Merantau bukanlah rencana saya pada awalnya, tapi rencana kedua orangtua saya. Sejak lulus SD saya memulai pengembaraan sebagai anak rantau. Bapak ibu saya berkarya di bidang pendidikan, sehingga berpikir bahwa sayang sekali jika anaknya ini memperoleh pendidikan yang seadanya di kampung. Maka dengan segala daya dan upaya serta berat hati yang ditutup-tutupi, beliau meminta saya untuk merantau dengan harapan dapat mengenyam pendidikan yang layak. Karena ibu saya memiliki saudara di Bogor, persinggahan pertama saya adalah kota hujan.

Meskipun saya akan tinggal jauh, bapak saya ingin saya tetap tumbuh dalam suasana spiritual yang baik. Saya yang pada mulanya sudah akan masuk ke sebuah sekolah umum di Bogor kemudian dialihkan mendaftar di sebuah sekolah islam terpadu meski sekolah tersebut baru. Apa perasaan pertama kali merantau? Sedih. Rasanya seperti kehilangan segalanya untuk seorang anak usia 11 tahun. Di rumah Samboja saya tinggal dengan ibu bapak, adik-adik, nenek (adik nenek), dan berdekatan dengan kakek-nenek (adik nenek saya juga). Di Bogor rasanya sepi sekali. Rumah tante saya di komplek, tante saya bekerja, dan saya hanya tinggal dengan mbak yang bantu di rumah. Kesepian. Setiap sore hari, saya yang biasanya akan main badminton dengan bapake menangis karena tidak punya teman. Setelah dua minggu lelah nangis barulah saya eksplorasi lingkungan, ngerusuhin mbak, ikut mbak main dengan mbak-mbak dari rumah lain, main dengan bayi tetangga, baca buku, apapun yang membuat sore hari jadi tidak saya benci.

Setelah masuk sekolah semua berjalan lebih baik. Sekolah saya full-day dan membuat saya menghabiskan waktu banyak di sekolah. Saya berteman dan mulai membangun kedekatan dengan teman. Attachment yang putus lebih cepat dengan orangtua beralih ke teman sebaya (menurut teori psikologi begitu ya). Kondisi ini memperbaiki diri saya dari keterpurukan kesepian. Di sekolah teman saya lucu-lucu dan beger alias puber. Maklum, saya anak kampung yang saat itu belum puber. Jadi buat saya ketika ada teman yang suka-sukaan, hal itu aneh karena saya pikir masih kecil kok aneh-aneh. Semua berjalan 85% lancar dan saya mampu menyesuaikan diri secara akademik non-akademik di sekolah.

Naik kelas 3 SMP, ibu saya meminta saya pindah ke SMP Negeri agar bisa les pelajaran dan Bahasa Inggris. Agak sedih memang harus pindah, tapi kalau dilogikakan maksud dan tujuan ibu saya itu lebih banyak kebaikannya. Lalu pindahlah saya dan kembali perlu menyesuaikan diri dengan sekolah. Sebenarnya secara akademik saya bisa survive, tapi pergaulan berbeda. Di sekolah saya sebelumnya, saat istirahat pertama kami akan ramai sholat dhuha di masjid sekolah. Di sekolah negeri ini menjadi aktivitas aneh saat itu. Saya sholat sendiri. Ketika itu saya jadi belajar bahwa “you can choose yanti, kamu mau gak sholat pun gpp kan bukan sholat wajib juga, kamu mau teruskan kebiasaanmu its okay itu kebebasanmu”. Dimanapun kita berada kondisi-kondisi ini bisa terjadi. Tapi, Alhamdulillah lama kelamaan ada juga siswa lain yang sholat dhuha dan saya jadi punya teman.

Well, tibalah masa SMA dimana terjadi fase storm and stress ala ala remaja pada diri saya. Mood swing, sensitif, cepat marah, lebih senang cuek, tidak ramah dan terbuka. Dibumbui dengan kondisi-kondisi lain yang tidak saya sukai. Hidup rasanya melelahkan. Teori perkembangan benar, sulit jadi remaja. Yang menjalani saja sulit apalagi yang menghadapi ya. Banyak peristiwa terjadi dan saya sejujurnya tidak punya teman berbagi yang pas di rumah. Untungnya, saya diberikan Tuhan teman-teman dan para kakak angkatan yang baik di sekolah. Saya berusaha sebisa saya untuk menambal bolong-bolong diri saya sana sini. Pelan-pelan. Saya sering berpikir, jika saya tinggal dengan orangtua mungkin kondisi saya bisa lebih baik. Mungkin setidaknya saya punya tempat berbagi atau ya setidaknya saya melihat kedua orangtua saya ada. Setelah belajar psikologi saya baru menyadari bahwa kondisi ini adalah buah dari attachment saya dengan orangtua yang terputus. Tapi tidak perlu disesali karena toh sudah terjadi.

Kuliah psikologi di Jogja membuat banyak hal lebih baik. Saya seperti dicuci di psikologi dengan belajar teori-teori yang bisa saya refleksikan sendiri. Saya dibersihkan dari nuansa storm stress remaja yang butek. Yang penting dari belajar psikologi adalah proses mengenali diri dan kemudian belajar untuk bebenah diri. Latihan untuk berpikir lebih positif, merasa dengan lebih sesuai, bersikap lebih adaptif. Walaupun saya sadar saat itu masih banyak sekali kekurangan diri saya yang perlu dibawa ke bengkel. Mungkin rem-nya blong jadi perlu diperbaiki agar kontrol dirinya lebih baik. Di masa kuliah S1 saya juga disuguhkan banyak kesempatan yang membuat saya mengenali diri saya lebih dalam dan belajar mengambil keputusan. Memilah mana hal baik bagi saya, mana yang mampu saya jalani, mana yang akan menjadi tantangan, mana yang justru menurunkan performa dan kualitas kepribadian saya. Saya juga belajar memilah pergaulan sejujurnya, bukan memilah teman. Saya harus mampu melihat mana kelompok yang saya bisa percayai mana yang sekedarnya saja. Saya juga belajar untuk menentukan tujuan hidup, arah hidup, perencanaan hidup dalam segala aspek, dan ingin jadi seseorang seperti apa saya ini.

Lepas dari masa S1, saya memasuki masa berkarya selama dua tahun. Wah, ini fase yang juga luar biasa. Saya banyak belajar bahwa hidup keras bung! (hehe). Saya paham mengapa karyawan perlu banyak piknik. Karena bekerja itu berat secara fisik dan psikis. Saya paham apa rasanya bilang ”Thanks God Its Friday”. Dari pengalaman selama bekerja juga saya kemudian memahami bahwa diri saya yang lemah ini memerlukan orang-orang yang baik dan suportif sebagai inner circle. Hidup sudah cukup lelah bro, jadi kalau harus berlama-lama dengan orang-orang yang lebih banyak negative thinking, ngotot, lebih banyak gosipnya, pengennya kalau bicara bener sendiri, duh ga sanggup adek bang. Sayang energinya. Lalu karena paham jadi karyawan itu melelahkan, saya kemudian membuat rencana bagaimana caranya saya bisa self-employee saja. Kembali pada salah satu cita-cita ingin berprofesi sebagai psikolog. Maka setelah dua tahun, saya cukupkan untuk sementara masa berkarya dan saya putuskan untuk studi lanjut.

Studi lanjut. S2. Mungkin banyak yang belum tahu, saya mencoba 3x sampai akhirnya bisa diterima di universitas dan jurusan yang saya inginkan saat ini. Setelah satu tahun bekerja, saya mencoba seleksi masuk gelombang 1 dan gelombang 2. Saya selalu lolos ujian tertulis tapi failed di fase interview. Setelah tahun kedua bekerja, saya mengubah peminatan yang saya daftar lalu saya latihan interview. Saya merenungkan kenapa ya dua kali gagal. Di percobaan ketiga ini sebenarnya saya sudah cukup pasrah dengan berpikir jika saya gagal lagi maka saya cukupkan ikhtiar saya. Saya akan melanjutkan perjalanan saya dalam berkarya saja dan mencari peluang studi lanjut lain. Ternyata, memang ada masanya sebagai manusia kita membuat indikator keberhasilan secara manusiawi supaya tidak merusak diri sendiri. Setidaknya saat itu, saya berpikir bahwa mungkin rezeki saya di tempat lain, mungkin ada banyak kesempatan yang lebih baik yang akan membawa saya ke kehidupan dan perjalanan yang lebih baik pula dari yang saya rencanakan.

Oo, saya kemudian diterima di magister profesi psikologi UI, peminatan psikologi pendidikan. Jadi, jadi nih psikolog? Perjalanan menjadi psikolog siap dimasuki. Setelah dilalui, masya Allah ternyata jauh lebih menguras energi dan air mata daripada bekerja. Sekarang motonya adalah “hidup itu keras banget bung!”. Banyak hal harus saya lalui, banyak tugas harus dikerjakan (lebih kebeban beraatttnya sih sebenarnya), banyak rasa sakit lahir maupun batin yang perlu diregulasi, banyak waktu makan dan tidur yang dilewatkan, banyak teman yang chat-nya tidak digubris (maaf ya), banyak agenda sister time yang missed, banyak ide yang tidak sempat ditulis, semua energi lahir batin difokuskan pada studi ini. Saya tahu s2 profesi itu melelahkan dari teman-teman saya yang sudah lebih dulu melanjutkan studi, tapi saya tidak tahu akan se-crazy ini. Sekarang, urusannya adalah mau survive atau tidak yanti setelah perjalanan ini? Setelah sejauh ini melangkah? Bukankah kamu sudah lebih dekat dengan salah satu cita-cita? Yang mungkin akan membawamu berjalan lebih jauh, bermanfaat lebih banyak.

Hari itu saya bercermin dan menemukan freeze moment. what are you doing? What you did all those time? Are you going to survive, aren’t you?.”

Apakah merantau menyenangkan? Tidak juga. Apakah merantau menyuguhkan banyak pengalaman dan pelajaran? Tentu. Dan saya masih ingin bertualang lewat pengalaman-pengalaman dari mengembara, maka saya putuskan masih akan ada di jalan ini. Di pengembaraan ini sampai nanti pulang ke tempat pulang sesungguhnya.


Curhatan,
Rabi'atul Aprianti

Komentar