25 Mei 2014
23.05 WIB
Malam ini saya teringat sebuah pengalaman beberapa tahun lalu ketika melakukan perjalanan pulang ke kampung halaman ayah saya. Berhubung saya dan orangtua janjian di tkp (tempat terkait) tapi berangkat dari kota yang berbeda, maka saya melakukan perjalanan seorang diri.
Penerbangan yogyakarta-banjarmasin memang jarang saya lakukan karena biasanya saya pulang ke Balikpapan langsung. Tapi pengalaman yang saya alami ketika itu jauh lebih tidak biasa. Pengalaman yang membuat saya bisa berkata "saya ini perempuan".
Awalnya seperti biasa, setibanya di bandara saya check in, masuk ruang tunggu, boarding, dan duduk manis di kabin pesawat sambil merogoh kantung di depan saya mencari bahan bacaan. Yang tidak biasa adalah ketika itu saya berkesempatan duduk di samping seorang pemuda. Setelah pesawat lepas landas pemuda itu mulai mengajak saya mengobrol. Basa basi biasa menurut saya. "Sendirian mbak?". "Iya mas" jawab saya.
Pemuda itu bercerita bahwa ia saat itu bekerja di salah satu pertambangan batu bara di Banjarmasin. Penting baginya bekerja dan berpenghasilan karena berasal dari keluarga yang pas-pasan. Pembicaraan merembet ketika ia bertanya tentang studi dan rencana karir. Saya menjawab singkat bahwa saya ingin menyelesaikan studi hingga jenjang S2 baru kemudian fokus berkarya & berkarir. Pemuda itu kemudian memprotes saya dengan caranya.
Ia berkata bahwa menurut pendapatnya, studi saya hingga S1 sudah tinggi, maka tidak perlu melanjutkan S2. "Perempuan itu kan nanti ujung-ujungnya ke dapur sama ngurus rumah dan anak, jadi untuk apa sekolah tinggi-tinggi mbak. Yang penting bisa masak, nyuci, ngurus anak kan itu sudah yang paling penting. Jadi buat apa mbak sekolah lagi setelah nanti lulus sarjana".
Duk! Pernyataan yang menghantam hati. Saya pikir kok masih ada ya laki-laki yang mikir begini. Berusaha tidak terlalu emosional saya menanggapi perkataan pemuda itu. "Mas, perempuan itu menurut saya harus pintar. Bahkan lebih pintar dari laki-laki. Dengan punya ilmu perempuan bisa membantu orangtua, saudara, suaminya. Bisa dalam hal apa saja sesuai ilmu yang dipunya. Ibu mas perempuan kan? Dulu waktu kecil siapa yang pertama kali ngajarin bicara atau berhitung atau bahkan nyanyi? Ibu kan? Nah, maka perempuan itu harus pintar karena dia madrasah pertama dan utama untuk anak-anaknya. Kalau ibunya kurang pintar, anaknya nanti belajarnya apa?"
Pemuda itu terdiam. Kemudian manggut-manggut dan tersenyum. "Oh iya juga ya mbak, saya ga kepikir sampe situ selama ini"
Kami kemudian melanjutkan mengobrol tentang pendidikan dan ranah-ranah pekerjaan sampai mendarat di Bandar Udara Samsudin Noor. Perlahan emosi saya mulai surut karena berhasil meyakinkan beliau :D.
Teman-teman pembaca yang baik,
Dalam bukunya (Brain Beauty Belief) Dian Pelangi menuliskan bahwa "mendidik lelaki tetaplah mendidik lelaki, tapi mendidik perempuan adalah mendidik generasi..". Perempuan adalah sekolah sekaligus agent of change di setiap bangsa, maka penting bagi perempuan untuk terus belajar, menjadi manusia yang punya pengetahuan luas & keterampilan yang sesuai dengan potensi dirinya.
Saya ini perempuan, maka saya merasa sangat perlu berpengetahuan :)
Bagaimana dengan kalian?
Rabi'atul Aprianti
Bachelor of Psychology
Founder of Seasons! Crochet shop
Apriantirabiatul@gmail.com
@RabiatulApriant
23.05 WIB
Malam ini saya teringat sebuah pengalaman beberapa tahun lalu ketika melakukan perjalanan pulang ke kampung halaman ayah saya. Berhubung saya dan orangtua janjian di tkp (tempat terkait) tapi berangkat dari kota yang berbeda, maka saya melakukan perjalanan seorang diri.
Penerbangan yogyakarta-banjarmasin memang jarang saya lakukan karena biasanya saya pulang ke Balikpapan langsung. Tapi pengalaman yang saya alami ketika itu jauh lebih tidak biasa. Pengalaman yang membuat saya bisa berkata "saya ini perempuan".
Awalnya seperti biasa, setibanya di bandara saya check in, masuk ruang tunggu, boarding, dan duduk manis di kabin pesawat sambil merogoh kantung di depan saya mencari bahan bacaan. Yang tidak biasa adalah ketika itu saya berkesempatan duduk di samping seorang pemuda. Setelah pesawat lepas landas pemuda itu mulai mengajak saya mengobrol. Basa basi biasa menurut saya. "Sendirian mbak?". "Iya mas" jawab saya.
Pemuda itu bercerita bahwa ia saat itu bekerja di salah satu pertambangan batu bara di Banjarmasin. Penting baginya bekerja dan berpenghasilan karena berasal dari keluarga yang pas-pasan. Pembicaraan merembet ketika ia bertanya tentang studi dan rencana karir. Saya menjawab singkat bahwa saya ingin menyelesaikan studi hingga jenjang S2 baru kemudian fokus berkarya & berkarir. Pemuda itu kemudian memprotes saya dengan caranya.
Ia berkata bahwa menurut pendapatnya, studi saya hingga S1 sudah tinggi, maka tidak perlu melanjutkan S2. "Perempuan itu kan nanti ujung-ujungnya ke dapur sama ngurus rumah dan anak, jadi untuk apa sekolah tinggi-tinggi mbak. Yang penting bisa masak, nyuci, ngurus anak kan itu sudah yang paling penting. Jadi buat apa mbak sekolah lagi setelah nanti lulus sarjana".
Duk! Pernyataan yang menghantam hati. Saya pikir kok masih ada ya laki-laki yang mikir begini. Berusaha tidak terlalu emosional saya menanggapi perkataan pemuda itu. "Mas, perempuan itu menurut saya harus pintar. Bahkan lebih pintar dari laki-laki. Dengan punya ilmu perempuan bisa membantu orangtua, saudara, suaminya. Bisa dalam hal apa saja sesuai ilmu yang dipunya. Ibu mas perempuan kan? Dulu waktu kecil siapa yang pertama kali ngajarin bicara atau berhitung atau bahkan nyanyi? Ibu kan? Nah, maka perempuan itu harus pintar karena dia madrasah pertama dan utama untuk anak-anaknya. Kalau ibunya kurang pintar, anaknya nanti belajarnya apa?"
Pemuda itu terdiam. Kemudian manggut-manggut dan tersenyum. "Oh iya juga ya mbak, saya ga kepikir sampe situ selama ini"
Kami kemudian melanjutkan mengobrol tentang pendidikan dan ranah-ranah pekerjaan sampai mendarat di Bandar Udara Samsudin Noor. Perlahan emosi saya mulai surut karena berhasil meyakinkan beliau :D.
Teman-teman pembaca yang baik,
Dalam bukunya (Brain Beauty Belief) Dian Pelangi menuliskan bahwa "mendidik lelaki tetaplah mendidik lelaki, tapi mendidik perempuan adalah mendidik generasi..". Perempuan adalah sekolah sekaligus agent of change di setiap bangsa, maka penting bagi perempuan untuk terus belajar, menjadi manusia yang punya pengetahuan luas & keterampilan yang sesuai dengan potensi dirinya.
Saya ini perempuan, maka saya merasa sangat perlu berpengetahuan :)
Bagaimana dengan kalian?
Rabi'atul Aprianti
Bachelor of Psychology
Founder of Seasons! Crochet shop
Apriantirabiatul@gmail.com
@RabiatulApriant
Komentar
Posting Komentar