19 April 2014
06.37 WIB
Selamat pagi. Salam sejahtera :)
06.37 WIB
Selamat pagi. Salam sejahtera :)
Pada tulisan ini saya ingin berbagi mengenai sebuah pengalaman berharga yang pernah saya dapatkan ketika masih berada di semester 4 studi S1. Kembali sebelumnya saya ingin memohon pengertian pembaca terlebih dahulu terkait keterbatasan saya sebagai lulusan S1 Psikologi yang belum lengkap ilmunya tentang psikoterapi. Maka dari itu pada tulisan ini saya ingin berbagi pengalaman dan pengamatan saya terkait terapi kerja atau bahasa kerennya occupational therapy.
Baik, di semester 4 studi S1, saya diwajibkan mengambil sebuah mata kuliah yang sangat penting yaitu Observasi dan Wawancara atau kami biasa panggil dengan "OW". Tugas-tugas ow tentu sudah dapat ditebak, pengamatan dan wawancara. Tapi teman-teman, pengamatan dan wawancara yang wajib dipelajari ini bukan sembarangan, kami diajari dasar teori, teknik, berbagai macam metode, kelebihan kelemahan masing-masing metode, kecocokan metode dengan kasus tertentu, spesial subjek, dan lainnya.
Suatu waktu kami memperoleh proyek tugas akhir ow untuk terjun ke lapangan secara berkelompok. Ketika itu saya bersama teman-teman sekelompok yang semuanya perempuan bingung akan pergi kemana. Berhubung dosen pengampu membebaskan kami ingin datang kemana, maka kami pikir sekalian saja yang menantang. Apa pilihan kami? Rumah sakit jiwa (RSJ).
Ternyata, urusan administrasi dan birokrasi tidak gampang. Kali pertama kami datang, kami hanya menegosiasikan urusan kami dengan pihak RSJ beserta aturan administrasi yang berlaku. Kami diwajibkan membayar biaya administrasi setiap kali visit dan memakai almamater. Kali selanjutnya kami datang, urusan kami adalah observasi awal secara fisik, belum sampai ke perilaku. Sejujurnya dari tugas itu yang kami jadikan subjek bukanlah para pasien tapi paramedis. Kami ingin mengetahui bagaimana dukungan sosial paramedis terhadap pasien, apakah baik atau tidak. Kali ketiga kami mulai mengobservasi perilaku dengan lebih intensif. Kali keempat saya dan teman-teman menemukan pengalaman lain.
Di kunjungan keempat ini, kami heran karena di bangsal tempat kami biasa melakukan observasi para pasien tidak ada. Saat itu masih pagi, sekitar jam 9.30 WIB. Para perawat di bangsal menginformasikan bahwa pasien sedang melakukan terapi kerja. Setelah diizinkan untuk ikut serta kami mencari tempat terapi tersebut dilakukan.
Bentuk gedungnya seperti rumah biasa, seorang ibu yang ramah menyambut kami di depan pintu. Suasana di dalam lebih mirip toko aksesoris daripada ruang terapi. Banyak lukisan digantung di dinding, hasil karya kristik, dan hiasan dinding bunga-bunga dari sedotan. Di dalam lemari kaca lebih dari 30 hasil karya kerajinan tangan. Ruangan terbagi dua, ruang tempat kami masuk adalah ruang display, setelah sekat dinding ruang selanjutnya adalah ruang terapi. Kami memasuki ruang terapi.
Nah! Inilah terapi kerja. Para pasien yang seluruhnya ibu-ibu sedang asik dengan pekerjaan masing-masing. Deretan paling kiri adalah para ibu yang sedang menggunakan mesin jahit untuk membuat sesuatu, di tengah ada sebuah meja panjang dan beragam kegiatan mulai dari kristik, merajut, membuat hiasan dari sedotan, dan menyulam. Deretan sebelah kanan sibuk dengan pekerjaan yang lebih beragam, mereka ada yang membersihkan sisa-sisa kain sampai menonton teman-teman yang masih bekerja.
Ibu yang kami sebut instruktur atau terapis adalah seorang ibu ramah yang menyambut kami di pintu. Ibu tersebut menjelaskan pada kami tentang terapi kerja sambil mengawasi para pasien. "Terapi kerja ini diberi ke pasien yang tahapnya sudah maintaining, yang istilahnya hampir sembuh. Dipilih sesuai dengan apa yang mereka kuasai atau mereka suka. Tujuannya supaya belajar fokus biar pikiran sama hatinya ga kemana-mana lagi. Terapi kerja seminggu sekali aja, kira-kira 2-3 jam. Untuk yang wanita ya seperti ini terapinya, ada juga yang memasak di tempat lain. Untuk laki-laki terapinya bermain gamelan dengan gotong royong." Memang dari tempat kami beradapun suara gamelan yang dimainkan bisa terdengar. Kami masih asik memperhatikan semua pasien yang masih asik pula dengan pekerjaan masing-masing.
Tiba-tiba ibu terapis menambahkan "terapi kerja ini ga hanya untuk yang terganggu mentalnya ya..untuk yang normal sedang bsrmasalah juga bisa. Jadi kalau mbak-mbaknya lagi stres boleh dicoba terapi kerja. Mungkin pekerjaannya bisa juga kalau pergi belanja begitu ya". Kami tertawa mendengar perkataan ibu terapis. Tapi pulang dari sana kami berpikir "belanja apa ya yang menyenangkan?" ^.^
Semoga bermanfaat :)
Salam hangat,
Rabi'atul Aprianti
Bachelor of Psychology
Research fellow, writer
Apriantirabiatul@gmail.com
081310065167
Komentar
Posting Komentar