15 April 2014
16.59 WIB
16.59 WIB
Alhamdulillah puji dan syukur pada Allah, Tuhan penguasa seluruh hati, penguasa langit dan bumi.
Izinkan saya mengucapkan syukur pada tulisan ini karena hari ini saya sampai pada pos hidup ke-22. Sebuah angka usia dimana manusia Indonesia biasanya akan berpindah kelas dari masa perkembangan remaja menuju masa dewasa awal.
Di tahun ke22 ini Alhamdulillah saya sudah tidak lagi berpikir akan berapa banyak ucapan selamat yang datang dari berbagai media. Atau saya akan dapat hadiah apa dari teman-teman dan keluarga. Tapi hari ini saya bersyukur karena hati dan diri saya lebih tertarik untuk menyelami makna dari semua yang saya terima hari ini dan dari 22 tahun ke belakang.
Proses pemaknaan hari ini membuat saya teringat kembali pada sebuah pembicaraan lama saya dengan seorang sahabat yang sangat saya sayangi hingga hari ini. Tulisan ini saya dedikasikan untuknya dan untuk teman-teman lainnya yg pada saat itu terlibat dalam lingkaran.
Topik pembicaraan itu adalah tentang kehidupan dan rezeki yang kemudian mengarahkan kami untuk membahas tentang ekspektasi dan harapan. Apakah dua hal ini berbeda?
Saya ingin menginformasikan bahwa kami di psikologi sangat sering menemukan kata ekspektasi di teori-teori, konsep, bacaan, dan sebagainya. Ekspektasi adalah perkiraan atau hasil yang diprasangka akan terjadi dari suatu hal atau kondisi tertentu. Misalnya, kita janjian dengan seorang teman yang kita yakini sering telat. Tapi di hari itu kita terus berusaha membangunkan, menghubungi setiap 10 menit dsb, kemudian dgn usaha usaha itu kita berekspektasi dia pasti tidak akan telat. Itu ekspektasi.
Sementara apakah ekspektasi berbeda dgn harapan? Kami ribut mendiskusikan kala itu apakah dua hal ini berbeda atau sama? Karena harapan menurut sebagian dari kami tetap seperti ekspektasi, ekspektasi hanya nama yg lebih gaul. Dengan diskusi yang cukup menguras fungsi kognitif, kami menemukan perbedaannya. Saya analogikan hal ini dalam sebuah kisah berikut:
Suatu masa, dua orang manusia berencana untuk menikah. Dua keluarga sudah setuju dan mendoakan kelancaran. Namun karena keduanya masih dianggap muda oleh kedua belah pihak orangtua, maka mereka direstui menikah tahun depan. Keduanya menjadi semangat bekerja untuk mengumpulkan bekal finansial. Hubungan terus dijaga meski keduanya berbeda tempat kerja. Suatu masa dalam satu tahun itu, ada seorang karyawan baru di tempat bekerja si lelaki. Karena seringnya komunikasi, pekerja baru menyukai si lelaki. Ketika tahu si lelaki sudah memiliki calon istri ia menjadi bingung. Setelah cukup waktu berpikir ia memutuskan untuk berusaha mendekati si lelaki dengan lebih intensif. Ia memiliki ekspektasi bahwa dengan menjadi lebih dekat ia akan mampu mendapatkan si lelaki.
Sementara itu hubungan lelaki dan wanita berjalan seperti biasa, meski selalu diwarnai konflik komunikasi karena perbedaan pekerjaan. Singkat cerita, hati si lelaki berhasil dibobol oleh karyawan baru, hubungan dengan si wanita berubah tak tentu arah. Dua keluarga menjadi kecewa pada keduanya. Si wanita berusaha sekuat tenaga dengan segala daya dan upaya untuk mengembalikan kondisi hati pasangannya. Ia memiliki ekspektasi dgn memperbaiki komunikasi, berusaha lebih mengerti, telpon setiap hari, ia akan mampu membawa pulang hati lelakinya dengan utuh. Kedua wanita berekspektasi. Sementara si lelaki? Apa yg ia lakukan? Ia menjauhi keduanya, memutus hubungan dengan dua wanita untuk waktu yg tidak ditentukan. Percaya bahwa Tuhan akan membimbingnya pada hidup yang lebih baik. Ia bekerja dengan lebih baik, instrospeksi diri, menunaikan hak tubuh, hati dan pikiran yang selama ini timpang. Hanya berharap bahwa Tuhn menunjukkan jalan yang terbaik. Bagaimana akhir kisahnya? Saya berikan pembaca hak untuk membuat akhir cerita masing-masing :)
Yang ingin saya bahas adalah mari tengok apakah ekspektasi dan hope berbeda? Jawabannya Ya. Dalam hope, alunan melodi keyakinan pada Tuhan lebih terasa. Dalam ekspektasi, keyakinan manusia akan dirinya sendiri lebih terasa. Dalam hidup, dalam setiap hal yang kita usahakan, hope membuat kita memiliki keyakinan 100% pada diri kita dan keyakinan tak hingga pada Tuhan. Sementara ekspektasi, lebih condong menjadikan keyakinan kita sebagai manusia poros utama, padahal di jangkauan yang tidak kasat mata ada kekuatan hebat yang tidak akan pernah mampu kita tandingi. Kekuasaan Tuhan.
Teman-teman pembaca, saya ingin mengajak semua yang sempat membaca tulisan ini berlatih untuk hidup dengan hope bukan lagi ekspektasi. Ini adalah insight berharga di hari jadi saya ini. Bahwa kita ini manusia yang bergantung pada kekuatan lebih besar yang tidak terlihat. Mari bekerja keras, mari rajin belajar, mari berusaha sekuat tenaga yang kita punya kemudian ber-Harapan baiklah. Hope yang baik, usaha maksimal dalam segala hal. Kemudian kita perhatikan apa yang akan terjadi :)
Wallahualam..
Terima kasih secara khusus pada Prapti Leguminosa untuk semua insight ini, semua diskusi ttg hidup, dan tentunya persaudaraan yg menghebatkan. Terima kasih pada friends in circle saya yang punya kehebatan masing-masing, Aristya Puspita, Chayrina Ramida, Weny Puji Lestari, Haryadi Kurniawan, M.Afdhal, Sinta Rizky Susena Putri, M.Rizal Basith, Windanu Imam Prabowo, Anang Isbiantoro, Rizkal Dwi Ramadhan, M.Iqbal Fasha, Surahman, mas Fahmi Baiquni, Nanda Dwi Parka, dan teman Psychol09y lain yang akan sangat amat banyak jika saya tuliskan satu persatu. Terima kasih pula pada teman" khusus di SMP dan SMA saya yang luar biasa. Terima kasih. Semoga pertemanan kita sampai ke surga :)
Rabi'atul Aprianti
Bachelor of Psychology
Research fellow, Writer
Apriantirabiatul@gmail.com
081310065167
Komentar
Posting Komentar