another Kartini

22 April 2014
13.23 WIB


Bertepatan dengan hari kartini pada tanggal 21 April 2014 kemarin, saya ingin menceritakan sebuah kisah pada teman-teman. Kisah seorang wanita biasa yang menurut saya adalah seorang Kartini di depan mata saya.

Di suatu daerah, bukan di pulau jawa, hidup sepasang suami istri yang agaknya jauh dari kata berkecukupan. Namun mereka merasa cukup dengan keberadaan dan penjagaan satu sama lain. Mereka dikaruniai 7 orang anak. Jarak antara satu anak dengan anak yang lain tidak begitu jauh. Sang istri terus membantu suaminya untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan tentunya ketujuh anak mereka.

Suatu hari, sang ayah jatuh sakit. Tak lama, ayahpun meninggal. Dapatkah kalian bayangkan bagaimana sang ibu? Hancur hatinya berkeping-keping ditinggal suaminya. Menangis hampir setiap hari dalam 25 hari. Tapi apa yang dapat dilakukan selain melanjutkan hidup bersama ketujuh anak yang masih kecil-kecil. Maut adalah suatu hal yang paling pasti dan abadi.

Tak ada pilihan lain selain bangkit bagi sang ibu. Setiap pagi, ibu berjualan nasi kuning dan ketupat sayur sebagai santap sarapan. Terkadang ditambah dengan beberapa aneka kue-kue basah khas daerah. Untungnya, sejak remaja sang ibu memang pandai memasak. Kemampuan memasak sang ibu tidak diragukan, terlebih ketika saat itu harus tiap hari berjualan demi kehidupannya dan anak-anaknya. Selain berjualan, pekerjaan serabutan lainnya pun dikerjakan oleh ibu itu. Semua demi membiayai pendidikan anak-anak. Tak ada yang tak sekolah. Begitu ujarnya.

Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun. Tak ada hal lain yang dipikirkan selain memasak, berjualan, bekerja, punya rezeki untuk sekolah dan hidup anak-anak. Allah menyayangi ibu itu dan anak-anaknya, keberuntungan berpihak, karena masakannya yang lezat semakin lama semakin banyak pelanggan yang tak hanya membeli tapi juga memesan masakan untuk hajatan dan sebagainya. Kehidupan mulai stabil. Sang ibu menerima order catering.

Hingga hari ini, ibu itu terus memasak dan menerima pesanan catering. Meskipun saat ini, anak-anaknya sudah bekerja dan menikah semua. Sudah bisa membiayai kehidupan sang ibu tanpa sang ibu perlu bekerja seperti dulu. Tapi rasa cinta dan suka pada memasak membuatnya terus berkarya :)

Kalian tau? Siapa ibu itu?

Ibu ini adalah kakak sepupu ayah saya. 
Seorang wanita yang penyayang dan ramah. Setiap kali saya bertemu dengan beliau, pertanyaan beliau selalu sama "aduhai cantiknya, pabila ikam ni nikah? Ayo sudah, kena aku masak akan" sambil tertawa memegang bahuku. Artinya kurang lebih begini "aduh cantiknya, jadi kapan kamu ini nikah? Ayo nanti aku aja yang masakkan makanan"
Kalian tau reaksi saya? Saya selalu tertawa jika ditanya seperti itu, kemudian saya akan bilang "sabar aja julak (panggilan suku banjar untuk bukdhe), yanti mau sekolah dulu"

Tentu saja kisah ini saya tulis bukan untuk menyoroti diri saya yang sudah ditanya kapan menikah, tapi tentang betapa kagumnya saya pada kakak sepupu ayah saya itu. Beliau bagi saya adalah seorang kartini bagi keluarganya. Sekuat tenaga bekerja agar anak-anaknya bisa sekolah dan menjadi orang-orang yang lebih berpendidikan. Bagi saya mengingat kisah beliau ini bisa menjadi salah satu motivasi saya untuk selalu bangkit ketika saya lelah menuntut ilmu, bangkit setiap saya bosan mengejar list" mimpi saya yang masih banyak, bangkit setiap saya jatuh dan merasa kecil. 

Bagaimana dengan kalian? Adakah another kartini di sekitar kalian?

Semoga bermanfaat :)


Rabi'atul Aprianti
Bachelor of Psychology
Research fellow, Writer
Founder of Seasons! Crochet shop
Apriantirabiatul@gmail.com
081310065167

Komentar