14 April 2014
10.50 WIB
---------------------
17 April 2014
AQ dapat disederhanakan sebagai daya juang. Konsep ini ditemukan oleh Paul G. Stoltz, PhD atau kita akan memanggilnya Stoltz. Konsep ini lahir dari riset panjang yang dilakukan oleh Stoltz selama lebih kurang 19 tahun. Stoltz melihat banyak orang yang cerdas di dunia ini, khususnya di Amerika saat itu. Akan tetapi kecerdasan mereka secara intelektual tidak membawa mereka untuk memiliki karir yang terus meningkat. Maka Stoltz kemudian berpikir pasti ada formula yang kurang.
AQ merupakan sebuah konsep yang tidak hanya teoritis tapi juga praktis. Sebuah keseimbangan konsep yang mungkin sedikit ditemui. AQ atau daya juang ini tentu tidak lahir dengan sendirinya, ia lahir dari latihan dan pembiasaan yang berkesinambungan oleh individu. Akan tetapi, tentu sebagai manusia kita membutuhkan dan dipengaruhi oleh lingkungan, maka kelompok, pasangan, keluarga, organisasi, komunitas, masyarakat dan budaya yang ada di masyarakat idealnya menjadi pendukung lahirnya AQ yang tinggi.
Bicara mengenai daya juang ini, Stoltz dalam riset dan bukunya berkisah tentang 3 orang pemuda yang memiliki 1 misi yang sama. Apakah itu? Mendaki gunung.
Ketiganya menyiapkan perbekalan, mencari tahu rute agar sampai di puncak gunung, berusaha mengenali medan. Setelah siap mereka bertiga pun melakukan misinya. Orang pertama, si A, akhirnya sampai di kaki gunung, ia sangat lelah karena ternyata perjalanan mendaki itu tidak mudah. Ia berpikir "gunung ini tinggi sekali, baru sampai disini saja sudah sebegini lelahnya, bagaimana untuk sampai ke puncak. Lebih baik aku pulang saja dan menyerah dari misi ini". Maka si A pun kembali.
Orang kedua, si B ketika sampai di kaki gunung ia terus berusaha walaupun lelah. Maka akhirnya ia sampai di setengah perjalanan. Kakinya sudah lecet-lecet dan ia merasa tidak akan sanggup lagi jika harus sampai di puncak. Toh setidaknya ia sampai di setengah perjalanan, itu baik untuk dikisahkan. Maka si B pun pulang.
Orang ketiga, si C, merasa sangat kelelahan, terlebih jika dibandingkan si A dan si B, perawakan si C lebih kecil. Ketika sampai di kaki gunung ia meyakinkan dirinya untuk sampai di setengah perjalanan. Ketika sampai di setengah perjalanan ia kemudian berpikir untuk pulang saja. Betapa tidak? Badannya sudah sangat lelah, kaki tangannya lecet bahkan berdarah, perbekalan menipis, secara logika sudah tidak akan mampu melanjutkan untuk sampai ke puncak. Tapi kemudian ia merasa "sudah dekat". Ayolah sudah sejauh ini berjalan dan puncak gunung sudah dekat. Maka ia mengobati luka-lukanya, mengatur perbekalan, kemudian berdiri dan melanjutkan perjalanan.
C sampai di puncak gunung. Mission complete. Orang ketiga ini adalah si C, si Climber. Apa yang kemudian ia rasakan setelah tiba di puncak gunung? Bahagia. Bahagia menaklukkan ketakutan diri, bahagia menaklukkan rintangan sepanjang perjalanan, bahagia karena sampai di puncak dan melihat pemandangan yang luar biasa indah.
Itulah AQ, daya juang. Maka apapun yang kita hadapi saat ini, kesulitan dalam jenis apapun. Ujian Nasional, Ujian Skripsi, proses penyelesaian tesis, proses merintis usaha, proses mewujudkan semua mimpi baik yang kita punya, bahkan proses bangkit kembali setelah memiliki hutang lebih dari setengah milyar. Apapun. Baik itu tentang pendidikan, karir, pasangan, keluarga atau hal lainnya. Mari bersama-sama berupaya menjadi seperti si Climber.
Seorang teman dekat saya pernah berkata, "berupayalah..Tuhan selalu dekat untuk memberi bantuan"
So, maukah kalian menjadi climber? :)
Selamat beraktivitas!
Rabi'atul Aprianti
Bachelor of Psychology
Research fellow, Writer
Founder of Seasons! Crochet shop
Apriantirabiatul@gmail.com
081310065167
10.50 WIB
---------------------
17 April 2014
Bertepatan dengan hari pertama UN SMA bagi remaja di negeri ini, saya beride untuk menulis sebuah sisi psikologis manusia yang sangat berkaitan dengan proses perjuangan (meski baru saya posting hari ini). Ya, saya dulu juga pernah merasakan UN dan peristiwa ini adalah salah satu bentuk perjuangan hidup yang harus berhasil dilalui.
Adversity Quotient.
Biasanya saya singkat konstruk ini dengan AQ. Topik ini pernah saya "kultumkan" di salah satu kelas psikologi yang saya ikuti ketika masih kuliah S1. Konstruk spesifik yang penting bagi hidup manusia meski belum banyak dibahas jika dibandingkan dengan EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient).
Apa itu AQ?
AQ dapat disederhanakan sebagai daya juang. Konsep ini ditemukan oleh Paul G. Stoltz, PhD atau kita akan memanggilnya Stoltz. Konsep ini lahir dari riset panjang yang dilakukan oleh Stoltz selama lebih kurang 19 tahun. Stoltz melihat banyak orang yang cerdas di dunia ini, khususnya di Amerika saat itu. Akan tetapi kecerdasan mereka secara intelektual tidak membawa mereka untuk memiliki karir yang terus meningkat. Maka Stoltz kemudian berpikir pasti ada formula yang kurang.
AQ merupakan sebuah konsep yang tidak hanya teoritis tapi juga praktis. Sebuah keseimbangan konsep yang mungkin sedikit ditemui. AQ atau daya juang ini tentu tidak lahir dengan sendirinya, ia lahir dari latihan dan pembiasaan yang berkesinambungan oleh individu. Akan tetapi, tentu sebagai manusia kita membutuhkan dan dipengaruhi oleh lingkungan, maka kelompok, pasangan, keluarga, organisasi, komunitas, masyarakat dan budaya yang ada di masyarakat idealnya menjadi pendukung lahirnya AQ yang tinggi.
Bicara mengenai daya juang ini, Stoltz dalam riset dan bukunya berkisah tentang 3 orang pemuda yang memiliki 1 misi yang sama. Apakah itu? Mendaki gunung.
Ketiganya menyiapkan perbekalan, mencari tahu rute agar sampai di puncak gunung, berusaha mengenali medan. Setelah siap mereka bertiga pun melakukan misinya. Orang pertama, si A, akhirnya sampai di kaki gunung, ia sangat lelah karena ternyata perjalanan mendaki itu tidak mudah. Ia berpikir "gunung ini tinggi sekali, baru sampai disini saja sudah sebegini lelahnya, bagaimana untuk sampai ke puncak. Lebih baik aku pulang saja dan menyerah dari misi ini". Maka si A pun kembali.
Orang kedua, si B ketika sampai di kaki gunung ia terus berusaha walaupun lelah. Maka akhirnya ia sampai di setengah perjalanan. Kakinya sudah lecet-lecet dan ia merasa tidak akan sanggup lagi jika harus sampai di puncak. Toh setidaknya ia sampai di setengah perjalanan, itu baik untuk dikisahkan. Maka si B pun pulang.
Orang ketiga, si C, merasa sangat kelelahan, terlebih jika dibandingkan si A dan si B, perawakan si C lebih kecil. Ketika sampai di kaki gunung ia meyakinkan dirinya untuk sampai di setengah perjalanan. Ketika sampai di setengah perjalanan ia kemudian berpikir untuk pulang saja. Betapa tidak? Badannya sudah sangat lelah, kaki tangannya lecet bahkan berdarah, perbekalan menipis, secara logika sudah tidak akan mampu melanjutkan untuk sampai ke puncak. Tapi kemudian ia merasa "sudah dekat". Ayolah sudah sejauh ini berjalan dan puncak gunung sudah dekat. Maka ia mengobati luka-lukanya, mengatur perbekalan, kemudian berdiri dan melanjutkan perjalanan.
C sampai di puncak gunung. Mission complete. Orang ketiga ini adalah si C, si Climber. Apa yang kemudian ia rasakan setelah tiba di puncak gunung? Bahagia. Bahagia menaklukkan ketakutan diri, bahagia menaklukkan rintangan sepanjang perjalanan, bahagia karena sampai di puncak dan melihat pemandangan yang luar biasa indah.
Itulah AQ, daya juang. Maka apapun yang kita hadapi saat ini, kesulitan dalam jenis apapun. Ujian Nasional, Ujian Skripsi, proses penyelesaian tesis, proses merintis usaha, proses mewujudkan semua mimpi baik yang kita punya, bahkan proses bangkit kembali setelah memiliki hutang lebih dari setengah milyar. Apapun. Baik itu tentang pendidikan, karir, pasangan, keluarga atau hal lainnya. Mari bersama-sama berupaya menjadi seperti si Climber.
Seorang teman dekat saya pernah berkata, "berupayalah..Tuhan selalu dekat untuk memberi bantuan"
So, maukah kalian menjadi climber? :)
Selamat beraktivitas!
Rabi'atul Aprianti
Bachelor of Psychology
Research fellow, Writer
Founder of Seasons! Crochet shop
Apriantirabiatul@gmail.com
081310065167
Komentar
Posting Komentar