Tulisan pertama saya mengenai "melihat korupsi dari kacamata psikologi". Dipublikasikan pertama kali di web FPSB UII Kolom "Suara Mahasiswa" :)
Semoga bermanfaat!
PSIKORUPSI
Pembicaraan mengenai korupsi rasanya tidak akan ada habisnya. Pasalnya, seperti yang terjadi di negeri kita, korupsi merupakan sebuah “trend” yang merambat cepat dan kemungkinan menular lebih cepat pula daripadainfluenza. Berdasarkan hasil survey dari Transparency International terkait Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2009 dapat diketahui bahwa dengan rentang nilai 0 sampai 10, Selandia Baru (New Zealand) yang dinobatkan sebagai negara terbersih dari perilaku korupsi memiliki IPK sebesar 9,4. Sementara Indonesia, yang oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) dinobatkan sebagai negara terkorup dari 16 negara di Asia Pasifik memiliki IPK sebesar 2,8 di tahun yang sama. Hingga akhir tahun 2010, hal tersebut belum berubah, peringkat korupsi Indonesia masih yang tertinggi se-Asia Pasifik. Sungguh luar biasa!
Semoga bermanfaat!
PSIKORUPSI
Pembicaraan mengenai korupsi rasanya tidak akan ada habisnya. Pasalnya, seperti yang terjadi di negeri kita, korupsi merupakan sebuah “trend” yang merambat cepat dan kemungkinan menular lebih cepat pula daripadainfluenza. Berdasarkan hasil survey dari Transparency International terkait Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2009 dapat diketahui bahwa dengan rentang nilai 0 sampai 10, Selandia Baru (New Zealand) yang dinobatkan sebagai negara terbersih dari perilaku korupsi memiliki IPK sebesar 9,4. Sementara Indonesia, yang oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) dinobatkan sebagai negara terkorup dari 16 negara di Asia Pasifik memiliki IPK sebesar 2,8 di tahun yang sama. Hingga akhir tahun 2010, hal tersebut belum berubah, peringkat korupsi Indonesia masih yang tertinggi se-Asia Pasifik. Sungguh luar biasa!
Menurut Alatas (1975), korupsi pada intinya adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Dijelaskan dalam Kamus Bahasa Indonesia tahun 1991, kata “korup” diartikan sebagai busuk, palsu, suap, penyuapan, dan pemalsuan. Pada Kamus Hukum, korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Pada hakikatnya, korupsi adalah suatu perbuatan curang yang merugikan dengan tujuan pribadi maupun golongan.
Psikologi, secara sederhana, ialah ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan atau sebagai ilmu yang mempelajari mind (pikiran), namun dalam perkembangannya, kata mind berubah menjadi behavior (perilaku atau tingkah laku) (Mussen & Rosenzwieg, 1975 dalam Sobur, 2009) karena pada dasarnya sulit untuk mengenal atau mengetahui jiwa dan pikiran manusia yang sifatnya abstrak. Lantas, apa hubungan antara korupsi dengan psikologi?
Setidaknya terdapat dua teori dari bidang ilmu psikologi yang dapat menyentuh atau mengungkap alasan mengapa banyak orang melakukan perilaku korupsi. Dua teori tersebut ialah teori lapangan (field theory) oleh Kurt Lewin dan konsep Big Five Personality oleh McCrae dan Costa. Menurut Kurt Lewin (Sarwono, 2008) perilaku manusia merupakan hasil (fungsi) dari interaksi antara faktor kepribadian (personality) dan lingkungan (environment) atau dengan kata lain lapangan kehidupan seseorang terdiri dari orang itu sendiri dan lingkungan, khususnya lingkungan kejiwaan (psikologis) yang ada padanya. Secara matematis teori ini disimbolkan dengan B = f (P,E) dimana B berarti Behavior, f berarti fungsi, P berarti Personality, dan E berartiEnvironment. Hal ini dapat digunakan untuk membahas segala jenis perilaku, tanpa terkecuali perilaku korupsi. Dari teori ini, jelaslah bahwa perilaku korupsi diapat dianalisis maupun diprediksi memiliki dua opsi motif yakni dari sisi lingkungan atau kepribadian individu terkait.
Konsep teori yang kedua yaitu Big Five Personality oleh McCrae dan Costa (Feist and Feist, 2008) menurut beberapa penelitian dapat digunakan untuk membahas kecenderungan perilaku korupsi. Big Five Personality merupakan konsep yang mengemukakan bahwa kepribadian seseorang terdiri dari lima trait (faktor kepribadian), yaitu extraversion, agreeableness, neuroticism, openness, danconscientiousness.
Ekstraversion (E) merupakan faktor kepribadian yang mengukur kuantitas dan intensitas dari interaksi interpersonal, tingkatan aktivitas, kebutuhan akan dorongan, kapasitas dan kesenangan. Agreeableness (A) mengukur kualitas dari apa yang dilakukan dengan orang lain dan apa yang dilakukan terhadap orang lain. Neuroticism (N) menggambarkan stabilitas emosional dengan cakupan-cakupan perasaan negatif yang kuat termasuk kecemasan, kesedihan, irritability dan nervous tension. Openness to Experience (O) merupakan gambaran keluasan, kedalaman, dan kompleksitas mental individu serta pengalamannya. Conscientiousness (C) mendeskripsikan perilaku yang diarahkan pada tugas dan tujuan serta kontrol dorongan secara sosial.
Arrigo dan Claussen (2003) serta Conelly dan Ones (2008) menjelaskan bahwa trait(faktor kepribadian) pada Big Five Personality dapat memprediksi kecenderungan individu berperilaku korupsi, terutama terkait trait conscientiousness. Arrigo dan Claussen (2003) serta Conelly dan Ones (2008) menyebutkan apabila skorconscientiousness tinggi maka individu cenderung tidak melakukan perilaku korupsi; sedang skor agreeableness tidak berelasi langsung dengan kecenderungan perilaku korupsi meskipun memiliki kaitan dengan beberapa faktor; apabila skor neuroticismtinggi maka individu cenderung melakukan tindakan korupsi; apabila skor openness to experience tinggi maka individu cenderung tidak melakukan perilaku korupsi; apabila skor extraversion tinggi cenderung tidak melakukan perilaku korupsi. Mengapa demikian?
Pada trait extraversion, individu yang memiliki skor extraversion tinggi memiliki kecenderungan bersifat aktif dan optimis, sehingga cenderung tidak mengambil “jalan pintas” ketika berhadapan dengan masalah sehingga cenderung tidak berpotensi korupsi. Pada trait neuroticism, individu yang memiliki skor neuroticism tinggi cenderung memiliki potensi korupsi karena dominan cemas, mudah gugup, mudah panik, dan emosional ketika mengalami masalah. Pada konsep trait openness to experience, individu yang memiliki skor tinggi cenderung tidak berpotensi korupsi karena berkepribadian kreatif, berminat luas, dan menyukai keragaman, sehingga cenderung mampu mengatasi masalah dengan kreativitasnya. Seorang individu yang skor conscientiousness-nya tinggi cenderung terorganisir dan mendengarkan hati nurani, sehingga cenderung tidak berpotensi korupsi karena korupsi merupakan tindakan yang tidak baik dan tentunya berlawanan dengan hati nurani.
Dari penjelasan dua teori di atas cukup jelaslah bahwa terdapat relasi atau hubungan antara ilmu psikologi dengan perilaku korupsi. Secara general, nampaknya ilmu psikologi dapat dimanfaatkan untuk menggali motif perilaku korupsi melalui berbagai teori, baik yang telah disebutkan di atas maupun belum. Pembahasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat menjadi lahan bagi para akademisi, peneliti, maupun praktisi yang tertarik. Semoga bermanfaat J.
Referensi (Bacaan Lebih lanjut):
Alatas, S,H. 1975. Sosiologi Korupsi. Jakarta : LP3ES.
Arrigo, B.A. and Claussen, N. 2003. Police Corruption and Psychological Testing: A Strategy for Preemployment Screening. International Journal of Offender Therapy and Comparative Criminology. Volume 47.
Conelly, B.S. and Ones, D.S. 2008. The Personality of Corruption: A National-Level Analysis. Cross-Cultural Research. Volume 42.
Feist, J. and Feist, G.J. 2008. Theories of Personality (edisi keenam). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sarwono, S.W. 2008. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Sobur, Alex. 2009. Psikologi Umum. Bandung: CV Pustaka Setia.
Komentar
Posting Komentar